TUGAS SUPERVISI PENDIDIKAN

Silahkan download buku (SUPERVISI PENDIDIKAN)

Tugas kalian adalah meresume atau membuat ringkasan dari buku di atas dengan topik di bawah ini
  1. Supervisi Manajerial dan Akademik (Halaman 34 - 47)
  2. Supervisi Klinis (Halaman 83 - 102)
  3. Evaluasi Program Supervisi Pendidikan (Halaman 103 -119)
  4. Problematika Guru di Sekolah dalam Perspektif Supervisi Pendidikan (Halaman 141 - 163)

Resum diketik dan dikirim ke email (amiruddin14@gmail.com)
Hasil resume wajib diberi nama, prodi dan semester dengan Contoh Akbar Junaidi (MPI-4)
Batas pengumpulan resume pada tanggal 09 April 2020
Share:

Model Supervisi Pendidikan


1.     Model konvensional (tradisional)
Model ini tidak lain dari refleksi dari kondisi masyarakat pada suatu saat. Pada saat kekuasaan yang otoriter dan feodal, akan berpengaruh pada sikap pemimpin yang autokrat dan korektif. Pemimpin cenderung untuk mencari-cari kesalahan. Perilaku supervisi ialah mengadakan inspeksi untuk mencari kesalahan dan menemukan kesalahan. Kadang-kadang bersifat memata-matai. Perilaku seperti ini disebut snoopervision (memata-matai). Sering disebut supervisi yang korektif. Memang sangat mudah untuk mengoreksi kesalahan orang lain, tetapi lebih sulit lagi untuk melihat segi-segi positif dalam hubungan dengan hal-hal yang baik. Pekerjaan seorang supervisor yang bermaksud hanya untuk mencari kesalahan adalah suatu permulaan yang tidak berhasil. Mencari-cari kesalahan dalam membimbing sangat bertentangan dengan prinsip dan tujuan supervisi pendidikan. Supervisi yang dilakukan dengan model ini menimbulkan perilaku guru yang acuh tak acuh untuk mencari solusi dan inovasi kemajuan pendidikan atau malah melawan supervisornya.
Praktek mencari kesalahan dan menekan bawahan ini masih tampak sampai saat ini. Para pengawas datang ke sekolah dan menanyakan mana satuan pelajaran. Ini salah dan seharusnya begini. Praktek-praktek supervisi seperti ini adalah cara memberi supervisi yang konvensional. Ini bukan berarti bahwa tidak boleh menunjukkan kesalahan. Masalahnya ialah bagaimana cara kita mengomunikasikan apa yang dimaksudkan sehingga para guru menyadari bahwa dia harus memperbaiki kesalahan. Para guru akan dengan senang hati melihat dan menerima bahwa ada yang harus diperbaiki. Caranya harus secara taktis pedagogis atau dengan perkataan lain, memakai bahasa penerimaan bukan bahasa penolakan.
Menurut Prasojo dan Sudiyono (2011: 88) model supervisi tradisional ada dua, yaitu:
a.    Observasi Langsung
Supervisi model ini dapat dilakukan dengan observasi langsung kepada guru yang sedang mengajar melalui prosedur: pra-observasi dan post-observasi.
1)  Pra-Observasi
Sebelum observasi kelas, supervisor seharusnya melakukan wawancara serta diskusi dengan guru yang akan diamati. Isi diskusi dan wawancara tersebut mencakup kurikulum, pendekatan, metode dan strategi, media pengajaran, evaluasi, dan analisis.
2)     Observasi
Setelah wawancara dan diskusi mengenai apa yang dilaksanakan guru dalam kegiatan belajar mengajar, kemudian supervisor mengadakan observasi kelas. Observasi kelas meliputi pendahuluan (apersepsi), pengembangan, penerapan, dan penutup.
3)     Post-Observasi
Setelah observasi kelas selesai, sebaiknya supervisor mengadakan wawancara dan diskusi tentang: kesan guru terhadap penampilannya, identifikasi keberhasilan dan kelemahan guru, identifikasi keterampilan-keterampilan mengajar yang perlu ditingkatkan, gagasan-gagasan baru yang akan dilakukan, dan lain sebagainya.
b.   Supervisi Akademik dengan Cara Tidak Langsung
Supervisis akademik dengan cara tidak langsung terdiri atas:
1)     Tes mendadak
Sebaiknya soal yang digunakan pada saat diadakan sudah diketahui validitas, reliabilitas, daya beda, dantingkat kesukarannya. Soal yang diberikan sesuai dengan yang sudah dipelajari peserta didik waktu itu.
2)     Diskusi kasus
Diskusi kasus berawal dari kasus-kasus yang ditemukan pada observasi Proses Pembelajaran (PBM), laporan-laporan, atau hasil studi dokumentasi. Supervisor dengan guru mendiskusikan kasus demi kasus, mencari akar permasalahan, dan mencari berbagai alternatif jalan keluarnya.
3)     Metode angket
Angket ini berisi pokok-pokok pemikiran yang berkaitan erat dan mencerminkan penampilan, kinerja guru, kualifikasi hubungan guru dengan peserta didiknya, dan sebagainya.

2.     Model Supervisi Ilmiah
Supervisi yang bersifat ilmiah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.    Dilaksanakan secara berencana dan kontinu.
b.   Sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu.
c.    Menggunakan instrumen pengumpulan data.
d.   Ada data yang objektif yang diperoleh dari keadaan yang riil.
Dengan menggunakan merit rating, skala penilaian atau checklist lalu para siswa atau mahasiswa menilai proses kegiatan belajar-mengajar guru/dosen di kelas. Hasil penelitian diberikan kepada guru-guru sebagai balikan terhadap penampilan mengajar guru pada cawu atau semester yang lalu. Data ini tidak berbicara kepada guru dan guru yang mengadakan perbaikan. Penggunaan alat perekam data ini berhubungan erat dengan penelitian. Walaupun demikian, hasil perekam data secara ilmiah belum merupakan jaminan untuk melaksanakan supervisi yang lebih manusiawi.
3.      Model Supervisi Klinis
Supervisi klinis adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus yang sistematik, dalam perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata, serta bertujuan mengadakan perubahan dengan cara yang rasional. Supervisi klinis adalah proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku rnengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal. Supervisi klinis mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.    Inisiatif terhadap apa yang akan disupervisi timbul dari pihak guru bukan dari supervisor.
b.   Supervisi dilakukan dengan penuh keakraban dan manusiawi.
c.    Hubungan antara supervisor dengan supervisee merupakan hubungan kemitraaan.

4.     Model Supervisi Artistik
Mengajar adalah suatu pengetahuan (knowledge), mengajar itu suatu keterampilan (skill), tapi mengajar juga suatu kiat (art). Sejalan dengan tugas mengajar supervisi juga sebagai kegiatan mendidik dapat dikatakan bahwa supervisi adalah suatu pengetahuan, suatu  keterampilan dan juga suatu kiat. Supervisi itu menyangkut bekerja untuk orang lain (working for the others), bekerja dengan orang lain (working with the others), bekerja melalui orang lain (working through the others). Dari sinilah disadari bahwa kegiatan supervisi adalah kegiatan menggerakkan orang lain, oleh karenanya dalam supervisi perlu kiat dan seni agar orang lain mau berbuat untuk berubah dari kebiasaan lama kepada kerja baru dalam upaya mencapai kemajuan, inilah yang disebut model artistik.
Dalam hubungan bekerja dengan orang lain maka suatu rantai hubungan kemanusiaan adalah unsur utama. Hubungan manusia dapat tercipta bila ada kerelaan untuk menerima orang lain sebagaimana adanya. Hubungan itu dapat tercipta bila ada unsur kepercayaan. Saling percaya saling mengerti, saling menghormati, saling mengakui, saling menerima seseorang sebagaimana adanya. Hubungan tampak melalui pengungkapan bahasa, yaitu supervisi lebih banyak.

C.    Tipe-tipe Supervisi
Fungsi pokok pemimpin sekolah sebagai supervisor terutama ialah membantu guru-guru dalam mengembangkan potensi mereka sebaik-baiknya. Supervisor sebagai pemimpin pendidikan memiliki tipe-tipe yang dapat dipergunakan dalam pelaksanaan program supervisi di sekolah. Tipe disini dikaitkan dengan cara atau bagaimana seorang supervisor menggunakan kekuasaannya dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Menurut Burhanuddin (2007: 46) terdapat tiga buah tipe supervisi yang dapat kita temukan dalam praktiknya, yaitu:
1.   Tipe Otoriter
Supervisor yang tergolong tipe ini menganggap fungsinya adalah memberi perintah, dan mengharapkan agar pelaksanaan tugas orang-orang yang disupervisi sesuai dengan apa yang dia tentukan. Ia berusaha mengadakan pengawasan secara cermat untuk menentukan segala kesalahan atau kekurangan yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang disupervisinya.
2.   Tipe Laissez Faire
Pada tipe ini target supervisi diberikan kebebasan dalam menjalankan aktivitasnya berupa menentukan tujuan, prosedur, dan metode-metode untuk mencapainya. Sebab yang diutamakan dalam supervisi model ini adalah hasil akhir sehingga supervisor tidak begitu intens dalam memfokuskan proses kerja yang dilaksanakan target supervisi. Selain itu apabila kita menggunakan tipe ini, supervisor tidak boleh memaksakan kemauannya (otoriter) kepada orang-orang yang disupervisi.
Supervisor juga diharuskan memberikan argumentasi atau alasan yang rasional tentang tindakan-tindakan serta instruksinya. Hendaknya tidak menonjolkan jabatan atau kekuasaannya agar tidak menghambat kreativitas bawahannya.
Jadi, dapat dilihat bahwa ciri-ciri tipe laissez faire adalah:
a.    Ketergantungan supervisor sangat besar sekali terhadap orang-orang yang disupervisinya.
b.   Sangat sedikit sekali kontrol yang diberikan.
c.    Memungkinkan supervisor tidak tahu apa yang semestinya dikerjakan.
d.   Memungkinkan supervisor untuk tidak pernah melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan.
3.   Tipe Demokratis
Dalam proses supervisinya, supervisor selalu mengadakan konsultasi dengan orang-orang yang disupervisinya. Konsultasi tersebut berkaitan dengan keputusan yang akan diambil, penetapan tujuan, dan cara mencapainya. Supervisi biasanya berusaha menampung saran atau pendapat dari guru atau petugas sekolah untuk memperbaiki dan membina program-program sekolah. Hubungan antara guru dan supervisor terlihat akrab, saling mempercayai, dan menganggap  dirinya sebagai bagian dari kelompok yang disupervisi sehingga proses perbaikan dan pengembangan terlihat dilakukan secara bersama-sama.
Selain tipe-tipe di atas masih ada variasi lain dari tipe demokratis, yaitu tipe demokratis semu (pseudo democratic). Dalam praktiknya, supervisor sepertinya bertindak secara demokratis; padahal sebenarnya otoriter. Walaupun segala sesuatunya namapak lebih dulu dimusyawarahkan sebelum dilaksanakan, namun segala tipu daya atau muslihatnya yang licik semua keputusan yang diambil harus sesuia dengan kehendak ia sendiri. Dalam acara rapat guru misalnya, sebelum rapat dimulai supervisor sudah memaketkan rencana, kehendak dan pendapatnya kepada orang-orang tertentu (sebut saja sebagai anak emas, pendukung, atau orang-orang yang memang berdiri di belakangnya) untuk mempengaruhi anggota-anggota lain agar menyetujui apa yang diinginkannya. Jadi kalau lahirnya nampak demokratis, tetapi sesungguhnya otoriter.
Secara situational ketiga tipe di atas boleh jadi memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri. Efektivitas masing-masing tipe itu sendiri sangat bergantung pada situasi dinamis yang dihadapi supervisor. Lain halnya pada tipe pseudo democratic, penyusun beranggapan secara relatif tidak memiliki kebaikan sama sekali. Kalau ditetapkan pada lingkungan kelompok kerjasama, dapat mengakibatkan adanya sikap apatisme dan undifferent di antara peserta baik terhadap sesama mereka, maupun terhadap pimpinan dan segala kebijakan organisasi.
Adapun lima tipe supervisi menurut Burton dan Bruecknes dalam Purwanto (2012: 79) yaitu:

1.   Tipe Inspeksi
Dalam administrasi dan kepemimpinan yang otokratis, supervisi berarti inspeksi. Dalam tipe inspeksi ini, supervisi merupakan kegiatan menginspeksi pekerjaan-pekerjaan guru atau bawahan, yang mewajibkan supervisor turun melihat langsung hal-hal yang dikerjakan target supervisi. Orang-orang yang bertugas atau mempunyai tanggung jawab tentang pekerjaan itu disebut inspektur. Inspeksi bukan suatu pengawasan yang berusaha menolong guru untuk mengembangkan dan memperbaiki cara dan daya kerja sebagai pendidik dan pengajar.
Inspeksi dijalankan untuk meneliti atau mengawasi apakah guru atau bawahan menjalankan apa yang sudah diinstruksikan dan ditentukan oleh atasan atau tidak, sampai dimana guru atau bawahan menjalankan tugas yang telah diberikan atasannya. Jadi, inspeksi berarti kegiatan mencari kesalahan.
Untuk menentukan baik buruknya guru atau bawahan dilihat dari sampai dimana ketaatan dan kebaikannya menjalankan tugas-tugas atasan tersebut. Guru atau bawahan tidak pernah diminta pendapat, diajak merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya. Musyawarah dan mufakat tidak berlaku dalam hal ini. Inspeksi merupakan tipe kepengawasan yang otokratis.
Ketika supervisor menjalankan tipe ini, maka yang harus diperhatikan adalah:
a.    Supervisi tidak boleh dilakukan berdasarkan hubungan pribadi maupun keluarga.
b.   Supervisi hendaknya tidak kemungkinan terhadap perkembangan dan hasrat untuk maju bagi bawahannya. Supervisi tidak boleh terlalu cepat mengharapkan hasil, mendesak.
c.    Supervisi tidak boleh menuntut prestasi di luar kemampuan bawahannya.
d.   Supervisi tidak boleh egois, tidak jujur dan menutup diri terhadap kritik dan saran dari bawaannya.

2.   Tipe Laissez Faire
Pada tipe ini, kepengawasan laissez faire membiarkan guru atau bawahan bekerja sekehendaknya tanpa diberi petunjuk dan bimbingan. Guru-guru boleh menjalankan tugasnya menurut apa yang mereka sukai, boleh mengajar apa yang mereka ingini, dan dengan cara yang mereka hendaki masing-masing.
Seorang kepala sekolah yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan bantuan, pengawasan, dan koreksi terhadap pekerjaan guru atau anggota yang dipimpinnya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan sepenuhnya kepada mereka masing-masing, tanpa adanya petunjuk, saran, maupun koordinasi. Supervisor juga diharuskan memberikan argumentasi atau alasan yang rasional tentang tindakan-tindakan serta instruksinya. Hendaknya tidak menonjolkan jabatan atau kekuasaannya agar tidak menghambat kreativitas bawahannya.

3.   Tipe Coersive (Paksaan)
Tipe coersive (paksaan) ini hampir sama dengan tipe inspeksi, supervisor dalam melaksanakan tugasnya turut campur dalam mengembangkan pendidiknya. Dalam tindakan pengawasannya, si pengawas bersifat memaksakan segala sesuatu yang dianggap baik dan benar menurut dirinya sendiri. Sehingga pendapat dan inisiatif guru tidak dihiraukan dan tidak dipertimbangkan, yang penting guru harus tunduk dan menuruti petunjuk yang dianggap baik oleh supervisor itu sendiri. Tipe supervisi seperti ini diperuntukan bagi para pendidik dan tenaga kependidikan yang masih lemah dalam memahami tugas dan tanggung jawabnya.

4.   Tipe Training and Guidance (Pelatihan dan Pembimbingan)
Tipe training and guidance (pelatihan dan pembimbingan) merupakan tipe supervisi yang menekankan keefektifan target supervisi. Kegiatan supervisi dilaksanakan dengan berbasis kepada pengembangan minat dan bakat target supervisi. Tipe supervisi ini berlandaskan suatu pandangan bahwa pendidikan itu merupakan proses pertumbuhan bimbingan. Supervisi yang dilakukan ialah untuk melatih dan memberi bimbingan kepada guru untuk melaksanakan tugasnya. Tipe training and guidanceini cocok digunakan apabila target supervisi masih belum berpengalaman dalam melaksanakan tugas keprofesian pendidikan. Namun, tipe ini dapat diterapkan kepada target supervisi yang telah berpengalaman.
Agar tipe training and guidance ini dapat dijalankan secara efektif, maka supervisor hendaknya juga menyiapkan berbagai macam sikap yang bersinergi dengan tugasnya, antara lain:
a.    Supervisor hendaknya bersikap positif terhadap segala macam persepsi baik yang positif maupun negatif kepada dirinya.
b.   Supervisor dituntut untuk dapat memimpin organisasi profesi pengawas untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam hal pengawasan dan pemantauan baik secara institusional (satuan pendidikan) maupun personal (pendidikan dan tenaga kependidikan).
c.    Supervisor hendaknya memiliki sikap yang superl dalam berkomunikasi kepada segenapstakeholders pendidikan. Sikap yang aktif, efektif dan menyenangkan dalam berkomunikasi akan memperlancar tugas supervisi. Sehinggak pencapaian target akan terealisasi dengan tepat.
d.   Supervisor harus bersikap berani terhadap usaha intimidasi atau tekanan dari pihak lain dalam menjalankan tugas pengawasan dan pembinaan.
e.    Supervisor dituntut bertanggung jawab atas hasil supervisi terhadap satuan pendidikan yang dibinanya. Pertanggungjawaban atas hasil kerja merupakan indikasi bahwa supervisor melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik kepada satuan pendidikan yang dibinanya.

5.   Tipe Demokratis
Keseluruhan tipe supervisi demokratis ini difokuskan ke dalam satuan pendidikan meliputi manajemen kurikulum pembelajaran; kesiswaan; sarana prasarana; ketenagaan; keuangan; hubungan sekolah dengan masyarakat dan layanan khusus.
Kerjasama yang sesuai dan esensial adalah hal yang dapat memajukan atau mengembangkan hal-hal sebagai berikut:
a.    Pengertian yang mendalam pada individu dan kelompok tentang tujuan pendidikan.
b.   Kesediaan dan kerelaan untuk menerima tanggung jawab pribadi dan kelompok bagi tercapainya tujuan bersama.
c.    Kecakapan untuk memberi sumbangan-sumbangan secara efektif dan kreatif bagi terpecahkannya masalah-masalah yang berkaitan dengan pencapaian tujuan.
d.   Koordinasi untuk kepentingan usaha bersama secara keseluruhan.
Bentuk kerjasama yang pokok dan sangat penting bagi fungsi pengawasan yaitu:
a.   Kerjasama dalam merencanakan pekerjaan-pekerjaan, terutama dalam merumuskan tujuan-tujuan dan menentukan prosedur-prosedur pelaksanaannya.
b.   Kerjasama dalam membagi sumber-sumber tenaga dan tanggung jawab-tanggung jawab dalam berbagai aspek pekerjaan.
c.   Kerjasama dalam pelaksanaan tugas-tugas penting bagi tercapainya tujuan-tujuan.
d.   Kerjasama dalam menilai pelaksanaan prosedur serta penilaian terhadap hasil pekerjaan.
Dalam melakukan tugas supervisi, supervisor seyogianya mempelajari tipe dan gaya supervisi. Tentu, tipe ini disesuaikan dengan lokalitas. Tipe atau gaya supervisi dibedakan menjadi lima menurut Asmani (2012: 34), di antaranya adalah sebagai berikut:

1.   Tipe autokratis
Supervisor autokratis menganggap bahwa fungsinya sebagai penentu segala kebijakan yang harus dijalankan dan cara menjalankannya. Selanjutnya, ia mengawasi pelaksanaan kebijakannya oleh bawahan. Tipe ini mirip dengan inspeksi. Otoritas mutlak ada di pihak supervisor.

2.   Tipe demokratis
Supervisor pada tipe ini melaksanakan fungsinya secara konsekuen dengan fungsi supervisi yang sebenarnya. Fungsi tersebut adalah membina dalam arti yang semurni-murninya. Otoritas supervisor seimbang dengan otoritas pihak yang disupervisi.

3.   Tipe Pseudo atau Quasi Demokratis (Demokratis Semu)
Dalam praktiknya, sering terdapat supervisor yang berbuat. Seolah-olah ia demokratis dengan mengadakan rapat untuk memusyawarakan sebuah problem. Tetapi dalam rapat ia memaksakan rencana dan keinginannya agar diikuti oleh bawahan dengan cara atau muslihat yang halus dan licin.

4.   Tipe Manipulasi Diplomatis
Supervisor melaksanakan prinsip demokratis, seperti mengadakan rapat atau musyawarah tetapi dengan kelihaiannya ia berusaha menggiring pikiran seluruh peserta rapat agar dapat menyetujui kehendaknya.

5.   Tipe Laissez-faire­­
Supervisor menginterpretasikan demokrasi dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan. Sehingga, supervisor kehilangan otoritasnya. Supervisor menyerahkan atau mempercayai bawahannya untuk mengambil keputusan.
Pada dasarnya tidak ada supervisor yang secara mutlak menggunakan salah satu dari tipe-tipe tersebut. Tetapi, sesuai dengan situasi dan kondisi atau permasalahan yang dihadapi maka supervisor cenderung berbaur. Fleksibilitas sangat penting diterapkan supaya organisasi berjalan dengan baik, kolektif, dan penuh rasa kekeluargaan. Fleksibilitas ini merupakan indikator bahwa supervisor benar-benar memahami masalah yang ada di lapangan, sehingga pendekatan yang digunakan menjadi relevan dan kontekstual karena mampu menyelesaikan masalah dan membawa perubahan besar dalam dinamika organisasi sekolah.
Berdasarkan teori Johany Windon, ada 4 jenis model supervisi yang dapat dipakai :
1.   Guru dan kepala sekolah tahu masalah yang dihadapinya, sehingga tipe ini lebih mudah menggunakan supervisi terbuka.
2.   Guru tidak tahu masalah yang dihadapi, tetapi kepala sekolah mengetahuinya, tipe ini yang digunakan supervisi direktif
3.   Sebaliknya guru mengetahui permasalahannya namun kepala sekolah tidak tahu, tipe ini sebaiknya menggunakan jenis model klinis
4.   Jika guru dan kepala sekolah sama-sama tidak mengtahui permasalahannya maka dengan mendatangkan pihak ketiga orang lain merupakan jalan yang tepat.

Share:

Pendekatan Supervisi Pendidikan


Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan oleh seorang supervisor, hal ini tentu lebih memudahkan supervisor ketika mensupervisi bawahannya, supervisor dapat memilih pendekatan mana yang akan digunakan sesuai dengan kondisi lembaga yang bersangkutan, karena setiap pendekatan dalam supervisi pendidikan memiliki karakteristik yang berbeda. Pemilihan yang tepat bergantung pada masalah yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai.
Menurut Piet A. Suhertian, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam supervisi yaitu pendekatan direktif, pendekatan non-direktif dan pendekatan kolaboratif, ketiga pendekatan tersebut bertitik tolak pada teori psikologi belajar, berikut ini penjelasan ketiga pendekatan tersebut.

1.      Pendekatan Direktif (langsung).
a.       Pengertian Pendekatan Direktif (langsung)
Pendekatan ini lahir dari teori psikologi behaviorisme yaitu segala perbuatan berasal dari rileks, atau respons terhadap rangsangan/stimulus. Maka dari itu guru yang mempunyai kekurangan perlu diberikan rangsangan agar ia bisa bereaksi dengan penguatan (reinforcement) atau hukuman (punishment). Adapun yang dimaksud dengan pendekatan direktif adalah cara pendekatan terhadap masalah yang bersifat langsung. Supervisor memberikan arahan langsung, dengan tujuan agar guru yang mengalami problem perlu diberi rangsangan langsung agar ia bisa bereaksi
Adapun langkah-langkah pendekatan direktif  yaitu : menjelaskan, menyajikan, mengarahkan, memberi contoh, menetapkan tolok ukur, dan menguatkan. Dan disimpulkan oleh Sri Banun Muslim dengan istilah prilaku supervisiyaitu: demonstrating (menunjukkan), directing (mengarahkan), standizing (mempersiapkan) dan reinforcing (memperkuat).
Dengan demikian, Supervisor menjadi central yang menentukan perbaikan pada guru, supervisor harus aktif, kreatif, dan inovatif dalam memperbaiki cara mengajar guru, sehingga guru tidak merasa di dikte dalan mengembangkan kemampuannya dan kreativitasnya.
Pada dasarnya supervisi pendidikan Islam adalah usaha pembinaan pendidik Islam untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan Islam serta profesionalismenya. Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan supervisi pendidikan Islam adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam yang hal itu dilakukan dengan memperbaiki pengajaran. Untuk mencapai tujuan tersebut secara efektif, Sri Banun mengemukakan, bahwa supervisi bukan hanya menyangkut penggunaan metode dan teknik supervisi tetapi juga menyangkut pilihan pola yang tepat yang tergambar dari pendekatan supervisi yang dipergunakan.
Maka dari itu, terdapat pendekatan yang salah satunya adalah pendekatan direktif. Pendekatan direktif adalah cara pendekatan terhadap masalah yang bersifat langsung. Pendekatan ini berangkat dari landasan psikologi behavioristik. Dalam pandangan psikologi ini, belajar dilakukan dengan kontrol instrumental lingkungan. Dengan demikian, menurut pandangan psikologi ini, seseorang akan belajar dan berhasil belajarnya, manakala senantiasa dikondisikan dengan baik dalam lingkungan tertentu. Jadi manusia diberi stimulus agar dapat memberikan respon.
Pandangan behavioristik supervisi pengajaran sebenarnya juga dikembangkan dari pandangan behavioristik tentang belajar. Jika tanggung jawab guru dalam mengembangkan dirinya sendiri sangat rendah, dibutuhkan keterlibatan yang tinggi dari supervisor. Atau dengan kata lain,, tanggung jawab supervisor haruslah tinggi. Dengan demikian, guru akan dapat dikondisikan sedemikian, sehingga mereka dapat mengembangkan dirinya dengan baik.
Dalam statemen lain, pendekatan direktif ini cocok untuk diterapkan dalam guru yang mempunyai prototipe tidak bermutu. Maksudnya guru tersebut mempunyai daya abstrak rendah dan komitmen rendah. Apabila guru sudah dalam keadaan yang demikian ini, dan hal ini hampir mayoritas terjadi pada guru-guru madrasah yang berada di daerah terpencil, maka supervisi yang diterapkan adalah supervisi pendidikan Islam dengan pendekatan direktif.
Hal yang membedakan dari supervisi pendidikan Islam dengan pendekatan direktif adalah supervisi ini tidak mengambil titik tolak dari psikologi behavioristik akan tetapi dari al-Qur’an dan al-hadits. Supervisi ini mencontoh perilaku Rasulullah saw dalam mengajari sahabatnya secara langsung. Misalnya perilaku Rasulullah dalam mengajari sahabatnya masalah shalat, makan, tata krama, akhlak dan kegiatan sehari-hari. Rasulullah menumbuhkan lingkungan yang harmonis agar para sahabat tekun beribadah selain dirinya sendiri sebagai contoh.
Demikian juga dalam supervisi pendidikan Islam, penerapan pendekatan direktif ini juga diberlakukan dengan membutuhkan keterlibatan tinggi dari seorang supervisor atau seorang kepala lembaga pendidikan Islam untuk membina guru agar dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.

b.  Perilaku Pokok Supervisi Dengan Pendekatan Direktif
Supervisi dengan pendekatan ini, menuntut supervisor yang banyak bicara dan berkomentar. Supervisor sedikit sekali memberikan pujian dan semangat yang mendorong guru. Supervisi dengan pendekatan ini didasarkan asumsi bahwa mengajar terdiri dari beberapa ketrampilan teknis dengan standar dan kompetensi yang telah ditetapkan. Menurut Glickman, seperti yang dikutip Sahertian, adalah sebagai berikut:
1)   Menjelaskan
2)   Menyajikan
3)   Mengarahkan
4)   Memberi contoh
5)   Menetapkan tolok ukur
6)   Menguatkan.
Pada pendekatan ini, supervisor mengarahkan kegiatan untuk perbaikan pengajaran dan menetapkan standar perbaikan pengajaran dan penggunaan standar tersebut harus diikuti oleh guru. Tanggung jawab proses sepenuhnya berada ditangan supervisi, sedangkan tanggung jawab guru rendah. Sehingga biasanya supervisor mengeluarkan perintah kepada guru untuk lebih meningkatkan profesionalitasnya dan mendiskusikannya apabila mengalami masalah.
Madhi menyatakan tata cara mengeluarkan perintah ada dua cara: Pertama, memberikan perintah dengan keyakinan tanpa keraguan yang berdampak pada kecepatan merespon dan melaksanakan tugas; dan kedua, menggunakan ungkapan positif (itsbat) lebih efektif daripada ungkapan negatif (nafy).  Tata cara perintah yang pertama memantapkan langkah para guru untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas, sedangkan tata cara perintah kedua itu memastikan pekerjaan/tugas yang harus dikerjakan guru lantaran menggunakan itsbat. Sebaliknya penggunaan ungkapan negatif (nafy)seringkali mengaburkan pemahaman para guru. Misalnya penggunaan itsbat adalah lakukan pekerjaan ini dalam waktu satu minggu. Sedangkan penggunaan nafy  dapat dicontohkan, lakukan pekerjaan ini tidak boleh lebih dari satu minggu. Kedua perintah ini memberi kesan yang berbeda. Contoh perintah pertama mengesankan suatu keharusan sedang pada contoh perintah kedua masih mengesankan adanya anjuran.
Perilaku supervisor sebagaimana yang dijelaskan Glikcman dan diperkuat oleh Madhi tersebut dilakukan secara bertahap. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, bahwa perubahan itu hendaknya dilakukan dengan bertahap. Proses pentahapan pembinaan tersebut dalam Islam terjadi ketika seorang pendidik membimbing anak yang sudah masuk usia shalat. Tahapan pembinaan anak ketika anak sudah masuk usia tujuh tahun sama dengan pelaksanaan supervisi direktif, dan dilanjutkan ketika anak berumur 10 tahun, yaitu ketika anak meninggalkan shalat anak dipukul atau diberi hukuman. Hal tersebut juga sama ketika seorang guru berhasil meningkatkan profesionalitasnya, maka guru tersebut diberi reward dan sebaliknya jika guru tetap dalam ketidakmampuannya melakukan inovasi pembelajaran, guru diberi punishment. Namun, punishment disini adalah yang mampu mendidik guru untuk lebih giat berusaha meningkatkan profesionalitasnya.
Hal yang perlu dicatat adalah umat Islam itu mempunyai banyak bahan, namun miskin teori, karena miskin metodologi atau epistemologi. Sebenarnya sudah banyak bahan yang tersebar, dan penulis hanya mengqiyaskan salah satunya supaya menjadi teori supervisi pendidikan Islam.

c.    Aplikasi Supervisi Pendekatan Direktif Dalam Supervisi Klinik
Supervisi klinis disebut juga supervisi kelas adalah “suatu bentuk bimbingan atau bantuan profesional yang diberikan kepada guru berdasarkan kebutuhan guru melalui siklus yang sistematis untuk meningkatkan proses belajar mengajar”. Pelaksanaannya didesain dengan praktis serta rasional. Baik desainnya maupun pelaksanaannya dilakukan atas dasar analisis data mengenai kegiatan-kegiatan di kelas.
Dalam pelaksanaan supervisi klinis, terdapat tujuan-tujuan yang dirumuskan, antara lain:
1)        Membantu guru meningkatkan kemampuan mengajarnya, terutama kepercayaan atas kemampuannya serta kemampuan menerapkan ketrampilan dasar mengajar.
2)        Memberi balikan yang obyektif atas perilaku guru dalam mengajar di kelas.
3)        Membantu guru menganalisis, mendiagnosis serta mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi guru di kelas.
4)        Membantu guru meningkatkan kemampuan dan sikap positifnya secara terus menerus dan berkelanjutan.
5)        Sebagai dasar menilai kemampuan guru dalam rangka promosi jabatan atau pekerjaannya.
Terdapat berbagai faktor yang mendorong dikembangkannya supervisi klinis, antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Mufidah:
1)        Dalam kenyataan yang dikerjakan supervisi ialah mengadakan evaluasi guru-guru semata. Di akhir satu semester guru-guru mengisi skala penilaian yang diisi peserta didik mengenai cara mengajar guru. Hasil penilaian diberikan kepada guru-guru, tapi tidak dianalisis mengapa sampai guru-guru dalam mengajar hanya mencapai tingkat penampilan seperti itu. Cara ini menyebabkan ketidakpuasan guru secara tersembunyi.
2)        Pusat pelaksanaan supervisi adalah supervisi, bukan berpusat pada apa yang dibutuhkan guru, baik kebutuhan profesional sehingga guru-guru tidak merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi pertumbuhan profesinya.
3)        Dengan menggunakan merit rating (alat penilaian kemampuan guru), maka aspek-aspek yang diukur terlalu umum. Sukar sekali untuk mendeskripsikan tingkah laku guru yang paling mendasar seperti yang mereka rasakan, karena diagnosisnya tidak mendalam, tapi sangat bersifat umum dan abstrak.
4)        Umpan balik yang diperoleh dari pendekatan sifatnya memberi arahan, petunjuk, instruksi, tidak menyentuh masalah manusia yang terdalam yang dirasakan guru-guru, sehingga hanya bersifat di permukaan.
5)        Tidak diciptakan hubungan identifikasi dan analisis diri, sehingga guru-guru melihat konsep dirinya.
6)        Melalui diagnosis dan analisis dirinya sendiri guru menemukan dirinya. Ia akan sadar kemampuan dirinya dengan menerima dirinya dan timbul motivasi dari dalam dirinya sendiri  untuk memperbaiki dirinya sendiri. Praktek-praktek supervisi yang tidak manusiawi itu menyebabkan kegagalan dalam pemberian supervisi klinis.
Prinsip-prinsip supervisi klinis, antara lain:
1)             Supervisi klinis yang dilaksanakan harus berdasarkan inisiatif dari para guru lebih dahulu. Perilaku supervisor harus demikian taktis sehingga guru-guru terdorong untuk berusaha meminta bantuan dari supervisor.
2)             Ciptakan hubungan manusiawi yang bersifat interaktif dan rasa kesejawatan
3)             Ciptakan suasana bebas dimana setiap orang bebas mengemukakan apa yang dialaminya. Supervisor berusaha untuk apa yang diharapkan guru.
4)             Objek kajian adalah kebutuhan profesional guru yang riil yang mereka sungguh alami.
5)             Perhatian dipusatkan pada unsur-unsur yang spesifik yang harus diangkat untuk diperbaiki.
Sebenarnya dari sekian banyak model supervisi pendidikan yang sesuai dan layak diterapkan dalam pendidikan Islam adalah model supervisi klinis. Hal tersebut karena sebenarnya supervisi model klinis tersebut sudah ada dalam ajaran Islam yaitu dalam hadits. Dalam masalah menjawab jawaban orang yang bertanya, dalam satu pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang berbeda, Nabi menjawabnya dengan berbeda-beda juga. Hal tersebut karena Nabi memperhatikan keadaan orang yang minta wasiat, dan beliau memberikan sesuatu yang lebih dibutuhkan oleh orang yang minta wasiat tersebut. Maka keadaannya sama dengan keadaan dokter dan pasiennya, pasien diberi obat yang dibutuhkannya. Konsep Islam ini sebenarnya merupakan konsep yang sudah ada sejak zaman Nabi yang publikasinya sudah lebih dahulu dari konsep supervisi pendidikan klinis. Namun umat Islam tidak menyadari akan adanya hal tersebut karena miskin epistemologi.
Sebenarnya konsep supervisi pendidikan Islam dengan pendekatan direktif akan lebih bagus hasilnya jika diterapkan dengan menggunakan model klinis, yang sesuai dengan ajaran Islam. Proses penerapan pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
1)        Tahap pre conference, supervisor menerima aduan dari guru yang bermasalah kemudian mengklarifikasikan dan membicarakan bersama, dan supervisor memberikan contoh atau gagasan yang dipresentasikan di depan guru tersebut.
2)        Tahap observasi, supervisor melakukan observasi untuk melihat kerja guru untuk meneliti apakah guru ini mengadakan perubahan atau peningkatan.
3)        Tahap post conference, supervisor melakukan feetback atas hasil observasi dan mendemonstrasikan jika masih ada yang kurang, kemudian menetapkan standar dan memberikan insentif atau menyatakan bahwa guru tersebut telah berhasil apabila hasil observasi sudah memuaskan dan positif.
Dengan melakukan tahap-tahap di atas, dan dilakukan dengan penuh kesabaran tanpa adanya amarah dan demi mengharap ridho dan pertolongan Allah, maka insya Allah supervisi dengan pendekatan direktif dalam lembaga pendidikan Islam mampu diterapkan dengan baik. Semuanya bergantung pada peran kepala madrasah atau kepala lembaga yang bertindak sebagai supervisor. Jadi supervisor harus mempunyai jiwa rekonstruksi dan selalu bertaqwa kepada Allah.
Demikian rekonstruksi konsep pembinaan guru dalam pendidikan Islam  dengan pendekatan direktif yang dapat penulis kemukakan. Apabila terdapat ketidaksetujuan atau saran, penulis menerimanya dengan hati terbuka.

2.      Pendekatan Non-direktif (tidak Langsung).
a.       Pengertian Pendekatan Non-direktif (tidak Langsung)
Pendekatan ini lahir dari pemahaman psikologi humanistik, yang sangat menghargai orang yang akan dibantu, dengan mendengar permasalahan. Dengan demikian pendekatan non-direktif yaitu cara pendekatan terhadap permasalahan yang bersifat tidak langsung. Supervisor tidak secara langsung menunjukkan permasalahan, tapi terlebih dahulu mendengarkan secara aktif apa yang dikemukakan guru. Supervisor memberikan sebanyak mungkin kepada guru untuk mengemukakan permasalahan yang dialami, oleh karena itu kepribadian guru yang dibina begitu dihormati. Selain itu menurut Sri Banun Muslim, bahwa guru harus mampu memecahkan masalahnya sendiri. Peranan supervisor disini adalah mendorong/membangkitkan kesadaran sendiri dan pengalaman-pengalaman guru diklasifikasikan. Pendekatan ini dilebih tepat digunakan terhadap guru yang proesional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada pendekatan non-direktif ini guru menjadi central yang menentukan perbaikan pada dirinya sendiri. Supervisor hanya membantu, mendorong guru agar mampu mengembangkan kemampuannya dan kreativitasnya.
Adapun langkah-langkah pendekatan non-direktif  yaitu : mendengarkan, memberikan penguatan, menjelaskan, menyajikan dan memecahkan masalah. Dan disimpulkan oleh Sri Banun Muslim dengan istilah prilaku supervisi, yaitu meliputi: listenning (mendengarkan), clarifying (mengklarifikasi), encouriging (mendorong), presenting (menyajikan), problem solving (memecahkan masalah), negotiating (negosiasi), demonstrating (menunjukkan), directing (mengarahkan), standadizing (menyiapkan) dan reinforcing (memperkuat).
Secara etimologi pendekatan memiliki arti usaha mendekati. Sedangkan supervisi pendidikan secara terminologi didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan untuk membantu personel sekolah dalam meningkatkan kemampuannya sehingga lebih mampu mempertahankan dan melakukan perubahan penyelenggaraan sekolah dalam rangka meningkatkan pencapaian tujuan sekolah. Sedangkan kata non direktif bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya tidak langsung.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan supervisi non direktif adalah cara pendekatan terhadap masalah yang sifatnya tidak langsung.. Pendekatan tidak langsung (non direktif) adalah cara pendekatan terhadap permasalahan yang sifatnya tidak langsung. Sehingga perilaku supervisor tidak secara langsung menunjukkan permasalahan, tapi ia terlebih dulu mendengarkan secara aktif apa yang dikemukakan oleh guru.
Mengacu pada definisi supervisi non direktif diatas, apabila kita kaitkan dengan konsep Islam, maka sesungguhnya Islam telah mewajibkan setiap individu untuk mengevaluasi proses pembentukan pribadi dan perbaikannya, dengan seluruh tindakannya. Islampun telah menetapkan bahwa dialah yang pertama harus bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Rasulullah saw bersabda “Evaluasilah diri kalian sebelum kalian dimintai pertanggungjawaban (oleh Allah)…”.
Adapun prinsip psikologi yang melandasi pendekatan supervisi non direktif adalah psikologis humanistik, dimana psikologi ini sangat menghargai orang yang akan dibantu. Oleh karena pribadi guru yang dibina begitu dihargai, maka supervisor lebih banyak mendengarkan permasalahan yang dihadapi guru. Dan karena bersifat tidak langsung maka supervisor tidak langsung menunjukkan permasalahan, tetapi memberikan ruang dan kesempatan yang luas bagi guru untuk menceritakan keberhasilan, keluhan dan masalah yang mereka alami. Baru kemudian memberikan stimulus untuk kebaikan ke depannya. Sehingga guru menjadi subjek yang dominan.

b.   Sasaran Supervisi Non Direktif
Sasaran supervisi non direktif adalah bergantung pada prototipe guru. Adapun teori yang membahas pembagian prototipe guru adalah teori yang dikemukakan oleh  Glickman. Glickman memilah-milah guru menjadi empat prototipe dengan mengemukakan bahwa setiap guru memiliki dua kemampuan dasar yaitu, berfikir abstrak dan komitmen. Dari pembagian guru inilah kemudian kita akan mengetahui pendekatan apa yang tepat diberikan kepada guru tersebut. Berikut bagan pembagian prototipe guru menurut Glickman.
Dari bagan Glickman di atas diperoleh informasi bahwa:
1)      Pada kuadaran I:
Daya Abstaksi (A+) dan Komitmen (K+) artinya guru tersebut terkategori professional dan berhak mendapatkan supervisi non direktif.
2)      Pada kudran II:
Abstaksi (A+) dan Komitmen (K-) artinya guru tersebut suka mengkritik sehingga layak mendapatkan supervisi kolaburatif.
3)      Pada kuadran III:
Abstaksi (A-) dan Komitmen (K+) artinya guru tersebut guru yang sibuk dan layak mendapatkan supervisi kolaburatif.
4)      Pada kuadran IV:
Abstaksi (A-) dan Komitmen (K-) artinya guru tersebut tidak bermutu dan tepatnya diberi supervisi direktif.
 Dari keterangan di atas jelaslah bahwa sasaran pendekatan supervisi non direktif ini adalah guru pada kuadran I yaitu guru profesioanal. Berdasarkan prototipe ini maka munculnya kasus guru senior yang cenderung menganggap supervisi merupakan kegiatan yang tidak perlu karena menganggap dirinya telah memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih dapat dihindarkan. Karena semua guru mendapatkan jatah supervisi masing-masing dengan pendekatan dan teknik supervisi yang berbeda.



3.      Pendekatan Kolaboratif.
a.       Pengertian Pendekatan Kolaboratif
Pendekatan kolaboratif ini lahir dari psikologi kognitif, yang beranggapan bahwa belajar adalah hasil paduan antara kegiatan individu dan lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh dalam pembentukan aktivitas individu. Dengan demikian pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan cara pendekatan direktif dan non-direktif. Pada pendekatan ini Supervisor dan guru bersama-sama, bersepakat untuk menetapkan struktur, proses dan kriteria dalam melaksanakan proses percakapan terhadap masalah yang dihadapi, pendekatan kolaboratif ini mengunakan kumunikasi dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Pendekatan ini dilebih tepat digunakan terhadap guru tukang kritik atau terlalu sibuk. Tugas supervisor adalah meminta penjelasan kepada guru apabila ada hal-hal yang diungkapkannya kurang dipahami, kemudian mendorong guru untuk mengaktualisasikannya inisiatif yang dipikirkannya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya atau meningkatkan pengajarannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada pendekatan kolaboratif ini, yang menjadi central adalah supervisor dan guru. Keduanya saling mengisi untuk menentukan perbaikan  dan pengembangan kemampuan dan kreativitas guru.
Adapun langkah-langkah pendekatan non-direktif  yaitu : menyajikan, menjelaskan, mendengarkan, memecahkan masalah dan negosiasi. Dan disimpulkan oleh Sri Banun Muslim dengan istilah prilaku supervisi, yaitu meliputi : presenting (menyajikan), problem solving (pemecahan masalah), dan negotiating (negosiasi).
Yang dimaksud dengan pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan cara pendekatan direktif dan non–direktif menjadi pendekatan baru. Pada pendekatan ini baik supervisor maupun guru bersama-sama, bersepakat untuk menetapkan struktur, proses dan kriteria dalam melaksanakan proses percakapan terhadap masalah yang dihadapi guru. Pendekatan ini didasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi kognitif beranggapan bahwa belajar adalah hasil panduan antara kegiatan individu dengan lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh dalam pembentukan aktivitas individu. Dengan demikian pendekatan dalam supervisi berhubungan pada dua arah. Dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Perilaku supervisor adalah sebagai berikut:
(1). Menyajikan
(2). Menjelaskan
(3). Mendengarkan
(4). Memecahkan masalah
(5). Negosiasi
Ketiga macam pendekatan sudah dikemukakan, yaitu pendekatan langsung (direktif), pendekatan tidak langsung (non-direktif), dan pendekatan kolaboratif. Sudah tentu pendekatan itu diterapkan melalui tahap-tahap kegiatan pemberian supervisi sebagai berikut:
1)   Percakapan awal (pre –conference), Supervisor bertemu dengan guru atau sebaliknya. Mereka membicarakan masalah yang dihadapi guru
2)   Observasi, Dalam observasi digunakan alat pencatatan data. Dalam percakapan awal supervisor berjanji akan mengobservasi kelas atau sebaliknya guru mengundang supervisi untuk mengadakan observasi di kelas.
3)   Analisis / interpretasi, Dalam observasi digunakan alat pencatatan data. Data dianalisis dan ditafsir.
4)   Percakapan akhir (past conference), Setelah data dianalisis lalu dibahas bersama dalam suatu percakapan.
5)   Analisis akhir, Hasil percakapan yang dibahas bersama untuk ditindaklanjuti.
6)   Diskusi, Tahap akhir diadakan diskusi.
Dalam proses pemberian supervisi, ingatlah pendekatan, perilaku supervisor dan teknik pemberian supervisi yang dikemukakan dapat diterapkan.

b.   Analisis Supervisi dengan Pendekatan Kolaboratif berdasarkan Sikap dan Peranan Supervisor dalam Proses Supervisi.
Pendekatan kolaboratif ini diaplikasikan pada guru yang termasuk kategori guru energik dan guru konseptor dalam proses supervisi.
Guru yang terlalu sibuk/energik , guru ini mempunyai tanggung jawab dan komitmen yang tinggi , tetapi tingkat abstraksinya rendah . Guru ini energik punya kemauan keras, dan antusias dalam bekerja. Cita-citanya tinggi, ingin berprestasi melalui kerja keras dalam membina para siswa belajar, bermaksud melakukan inovasi dalam pembelajaran agar lulusannya meningkat. Para siswa sering diberi tugas rumah yang banyak dengan harapan prestasi mereka meningkat. Tetapi kemauan besar dan niat baik itu terganjal oleh kemampuan umum guru ini yang kurang bagus, yang mengakibatkan jarang sekali ia dapat mewujudkan niat baiknya. Terlalu banyak yang ingin digapai tidak sesuai dengan kemampuannya yang rendah , membuat banyak pekerjaannya terbengkelai.
Guru tukang kritik/konseptor, guru ini pandai membuat konsep-konsep baru tentang pembelajaran maupun sekolah, tetapi tidak mampu mewujudkan konsep itu. Hal ini disebabkan rasa tanggung jawab dan komitmennya rendah, walaupun ia memiliki tingkat abstraksi yang tinggi. Dalam tugas sehari-hari ia sering mengemukakan ide-ide yang bagus yang sifatnya inovatif. Ia dapat menjelaskan ide-ide itu dengan rasionalitas yang relative tepat beserta langkah-langkah mewujudkan program itu. Namun bila ia disuruh untuk mewujudkan cita-cita itu, memelopori hal-hal yang ia pandang inovatif, ia selalu menolak. Ia tidak mau berkorban waktu, tenaga maupun pikiran untuk merealisasi cita-cita itu. Ia tidak punya komitmen untuk melakukan sesuatu.
Kolaborasi adalah kerja sama antara guru dan supervisor . pendekatan ini berasal dari psikologi kognitif. Kerja sama dilakukan dalam banyak hal untuk memajukan kedua guru ini.
Bagi guru yang terlalu sibuk/energik kerja sama ini dilakukan untuk membantu guru dalam melaksanakan ide dan cita-citanya yang besar. Supervisor mengajak guru ini agar tidak berhenti di tengah jalan melainkan memberi dorongan dan bantuan agar proyek-proyeknya dapat ia selesaikan.
Sementara itu bagi guru tukang kritik/konseptor kerja supervisor memberi dorongan dan fasilitas agar guru ini bersedia menjadi ketua pelaksana ide yang ia ciptakan agar buah ide itu dapat dinikmati oleh warga sekolah , terutama para siswa.
Dalam pendekatan kolaboratif ini dapat dilakukan metode berdasarkan kontrak, yaitu suatu strategi yang dibuat oleh supervisor untuk memberi semacam paksaan kepada kedua guru ini sebagai suatu ikatan . Kontrak yang ditandatangani atau hanya kesepakatan lisan ini secara psikologis akan memberi pengaruh kepada itikad guru untuk mengisi dan menyelesaikan kontrak itu . Bagi guru energik diharapkan akan dapat memenuhi kemauan keras dan cita-cita yang tinggi bisa diwujudkan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati . Demikian pula dengan guru konseptor, diharapkan tidak hanya mampu membuat konsep saja melainkan juga mampu mewujudkan konsep itu dalam praktek sehari-hari.

Share:

TENTANG DI

Foto saya
Dapur Ilmiah (DI) merupakan blog yang secara konsisten menayangkan berbagai penelitian ilmiah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Salam DI.

PENGUNJUNG

KATEGORI

Breaking News
Featured
Recent Posts

Pages

Theme Support