Model Supervisi Pendidikan


1.     Model konvensional (tradisional)
Model ini tidak lain dari refleksi dari kondisi masyarakat pada suatu saat. Pada saat kekuasaan yang otoriter dan feodal, akan berpengaruh pada sikap pemimpin yang autokrat dan korektif. Pemimpin cenderung untuk mencari-cari kesalahan. Perilaku supervisi ialah mengadakan inspeksi untuk mencari kesalahan dan menemukan kesalahan. Kadang-kadang bersifat memata-matai. Perilaku seperti ini disebut snoopervision (memata-matai). Sering disebut supervisi yang korektif. Memang sangat mudah untuk mengoreksi kesalahan orang lain, tetapi lebih sulit lagi untuk melihat segi-segi positif dalam hubungan dengan hal-hal yang baik. Pekerjaan seorang supervisor yang bermaksud hanya untuk mencari kesalahan adalah suatu permulaan yang tidak berhasil. Mencari-cari kesalahan dalam membimbing sangat bertentangan dengan prinsip dan tujuan supervisi pendidikan. Supervisi yang dilakukan dengan model ini menimbulkan perilaku guru yang acuh tak acuh untuk mencari solusi dan inovasi kemajuan pendidikan atau malah melawan supervisornya.
Praktek mencari kesalahan dan menekan bawahan ini masih tampak sampai saat ini. Para pengawas datang ke sekolah dan menanyakan mana satuan pelajaran. Ini salah dan seharusnya begini. Praktek-praktek supervisi seperti ini adalah cara memberi supervisi yang konvensional. Ini bukan berarti bahwa tidak boleh menunjukkan kesalahan. Masalahnya ialah bagaimana cara kita mengomunikasikan apa yang dimaksudkan sehingga para guru menyadari bahwa dia harus memperbaiki kesalahan. Para guru akan dengan senang hati melihat dan menerima bahwa ada yang harus diperbaiki. Caranya harus secara taktis pedagogis atau dengan perkataan lain, memakai bahasa penerimaan bukan bahasa penolakan.
Menurut Prasojo dan Sudiyono (2011: 88) model supervisi tradisional ada dua, yaitu:
a.    Observasi Langsung
Supervisi model ini dapat dilakukan dengan observasi langsung kepada guru yang sedang mengajar melalui prosedur: pra-observasi dan post-observasi.
1)  Pra-Observasi
Sebelum observasi kelas, supervisor seharusnya melakukan wawancara serta diskusi dengan guru yang akan diamati. Isi diskusi dan wawancara tersebut mencakup kurikulum, pendekatan, metode dan strategi, media pengajaran, evaluasi, dan analisis.
2)     Observasi
Setelah wawancara dan diskusi mengenai apa yang dilaksanakan guru dalam kegiatan belajar mengajar, kemudian supervisor mengadakan observasi kelas. Observasi kelas meliputi pendahuluan (apersepsi), pengembangan, penerapan, dan penutup.
3)     Post-Observasi
Setelah observasi kelas selesai, sebaiknya supervisor mengadakan wawancara dan diskusi tentang: kesan guru terhadap penampilannya, identifikasi keberhasilan dan kelemahan guru, identifikasi keterampilan-keterampilan mengajar yang perlu ditingkatkan, gagasan-gagasan baru yang akan dilakukan, dan lain sebagainya.
b.   Supervisi Akademik dengan Cara Tidak Langsung
Supervisis akademik dengan cara tidak langsung terdiri atas:
1)     Tes mendadak
Sebaiknya soal yang digunakan pada saat diadakan sudah diketahui validitas, reliabilitas, daya beda, dantingkat kesukarannya. Soal yang diberikan sesuai dengan yang sudah dipelajari peserta didik waktu itu.
2)     Diskusi kasus
Diskusi kasus berawal dari kasus-kasus yang ditemukan pada observasi Proses Pembelajaran (PBM), laporan-laporan, atau hasil studi dokumentasi. Supervisor dengan guru mendiskusikan kasus demi kasus, mencari akar permasalahan, dan mencari berbagai alternatif jalan keluarnya.
3)     Metode angket
Angket ini berisi pokok-pokok pemikiran yang berkaitan erat dan mencerminkan penampilan, kinerja guru, kualifikasi hubungan guru dengan peserta didiknya, dan sebagainya.

2.     Model Supervisi Ilmiah
Supervisi yang bersifat ilmiah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.    Dilaksanakan secara berencana dan kontinu.
b.   Sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu.
c.    Menggunakan instrumen pengumpulan data.
d.   Ada data yang objektif yang diperoleh dari keadaan yang riil.
Dengan menggunakan merit rating, skala penilaian atau checklist lalu para siswa atau mahasiswa menilai proses kegiatan belajar-mengajar guru/dosen di kelas. Hasil penelitian diberikan kepada guru-guru sebagai balikan terhadap penampilan mengajar guru pada cawu atau semester yang lalu. Data ini tidak berbicara kepada guru dan guru yang mengadakan perbaikan. Penggunaan alat perekam data ini berhubungan erat dengan penelitian. Walaupun demikian, hasil perekam data secara ilmiah belum merupakan jaminan untuk melaksanakan supervisi yang lebih manusiawi.
3.      Model Supervisi Klinis
Supervisi klinis adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus yang sistematik, dalam perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata, serta bertujuan mengadakan perubahan dengan cara yang rasional. Supervisi klinis adalah proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku rnengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal. Supervisi klinis mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.    Inisiatif terhadap apa yang akan disupervisi timbul dari pihak guru bukan dari supervisor.
b.   Supervisi dilakukan dengan penuh keakraban dan manusiawi.
c.    Hubungan antara supervisor dengan supervisee merupakan hubungan kemitraaan.

4.     Model Supervisi Artistik
Mengajar adalah suatu pengetahuan (knowledge), mengajar itu suatu keterampilan (skill), tapi mengajar juga suatu kiat (art). Sejalan dengan tugas mengajar supervisi juga sebagai kegiatan mendidik dapat dikatakan bahwa supervisi adalah suatu pengetahuan, suatu  keterampilan dan juga suatu kiat. Supervisi itu menyangkut bekerja untuk orang lain (working for the others), bekerja dengan orang lain (working with the others), bekerja melalui orang lain (working through the others). Dari sinilah disadari bahwa kegiatan supervisi adalah kegiatan menggerakkan orang lain, oleh karenanya dalam supervisi perlu kiat dan seni agar orang lain mau berbuat untuk berubah dari kebiasaan lama kepada kerja baru dalam upaya mencapai kemajuan, inilah yang disebut model artistik.
Dalam hubungan bekerja dengan orang lain maka suatu rantai hubungan kemanusiaan adalah unsur utama. Hubungan manusia dapat tercipta bila ada kerelaan untuk menerima orang lain sebagaimana adanya. Hubungan itu dapat tercipta bila ada unsur kepercayaan. Saling percaya saling mengerti, saling menghormati, saling mengakui, saling menerima seseorang sebagaimana adanya. Hubungan tampak melalui pengungkapan bahasa, yaitu supervisi lebih banyak.

C.    Tipe-tipe Supervisi
Fungsi pokok pemimpin sekolah sebagai supervisor terutama ialah membantu guru-guru dalam mengembangkan potensi mereka sebaik-baiknya. Supervisor sebagai pemimpin pendidikan memiliki tipe-tipe yang dapat dipergunakan dalam pelaksanaan program supervisi di sekolah. Tipe disini dikaitkan dengan cara atau bagaimana seorang supervisor menggunakan kekuasaannya dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Menurut Burhanuddin (2007: 46) terdapat tiga buah tipe supervisi yang dapat kita temukan dalam praktiknya, yaitu:
1.   Tipe Otoriter
Supervisor yang tergolong tipe ini menganggap fungsinya adalah memberi perintah, dan mengharapkan agar pelaksanaan tugas orang-orang yang disupervisi sesuai dengan apa yang dia tentukan. Ia berusaha mengadakan pengawasan secara cermat untuk menentukan segala kesalahan atau kekurangan yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang disupervisinya.
2.   Tipe Laissez Faire
Pada tipe ini target supervisi diberikan kebebasan dalam menjalankan aktivitasnya berupa menentukan tujuan, prosedur, dan metode-metode untuk mencapainya. Sebab yang diutamakan dalam supervisi model ini adalah hasil akhir sehingga supervisor tidak begitu intens dalam memfokuskan proses kerja yang dilaksanakan target supervisi. Selain itu apabila kita menggunakan tipe ini, supervisor tidak boleh memaksakan kemauannya (otoriter) kepada orang-orang yang disupervisi.
Supervisor juga diharuskan memberikan argumentasi atau alasan yang rasional tentang tindakan-tindakan serta instruksinya. Hendaknya tidak menonjolkan jabatan atau kekuasaannya agar tidak menghambat kreativitas bawahannya.
Jadi, dapat dilihat bahwa ciri-ciri tipe laissez faire adalah:
a.    Ketergantungan supervisor sangat besar sekali terhadap orang-orang yang disupervisinya.
b.   Sangat sedikit sekali kontrol yang diberikan.
c.    Memungkinkan supervisor tidak tahu apa yang semestinya dikerjakan.
d.   Memungkinkan supervisor untuk tidak pernah melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan.
3.   Tipe Demokratis
Dalam proses supervisinya, supervisor selalu mengadakan konsultasi dengan orang-orang yang disupervisinya. Konsultasi tersebut berkaitan dengan keputusan yang akan diambil, penetapan tujuan, dan cara mencapainya. Supervisi biasanya berusaha menampung saran atau pendapat dari guru atau petugas sekolah untuk memperbaiki dan membina program-program sekolah. Hubungan antara guru dan supervisor terlihat akrab, saling mempercayai, dan menganggap  dirinya sebagai bagian dari kelompok yang disupervisi sehingga proses perbaikan dan pengembangan terlihat dilakukan secara bersama-sama.
Selain tipe-tipe di atas masih ada variasi lain dari tipe demokratis, yaitu tipe demokratis semu (pseudo democratic). Dalam praktiknya, supervisor sepertinya bertindak secara demokratis; padahal sebenarnya otoriter. Walaupun segala sesuatunya namapak lebih dulu dimusyawarahkan sebelum dilaksanakan, namun segala tipu daya atau muslihatnya yang licik semua keputusan yang diambil harus sesuia dengan kehendak ia sendiri. Dalam acara rapat guru misalnya, sebelum rapat dimulai supervisor sudah memaketkan rencana, kehendak dan pendapatnya kepada orang-orang tertentu (sebut saja sebagai anak emas, pendukung, atau orang-orang yang memang berdiri di belakangnya) untuk mempengaruhi anggota-anggota lain agar menyetujui apa yang diinginkannya. Jadi kalau lahirnya nampak demokratis, tetapi sesungguhnya otoriter.
Secara situational ketiga tipe di atas boleh jadi memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri. Efektivitas masing-masing tipe itu sendiri sangat bergantung pada situasi dinamis yang dihadapi supervisor. Lain halnya pada tipe pseudo democratic, penyusun beranggapan secara relatif tidak memiliki kebaikan sama sekali. Kalau ditetapkan pada lingkungan kelompok kerjasama, dapat mengakibatkan adanya sikap apatisme dan undifferent di antara peserta baik terhadap sesama mereka, maupun terhadap pimpinan dan segala kebijakan organisasi.
Adapun lima tipe supervisi menurut Burton dan Bruecknes dalam Purwanto (2012: 79) yaitu:

1.   Tipe Inspeksi
Dalam administrasi dan kepemimpinan yang otokratis, supervisi berarti inspeksi. Dalam tipe inspeksi ini, supervisi merupakan kegiatan menginspeksi pekerjaan-pekerjaan guru atau bawahan, yang mewajibkan supervisor turun melihat langsung hal-hal yang dikerjakan target supervisi. Orang-orang yang bertugas atau mempunyai tanggung jawab tentang pekerjaan itu disebut inspektur. Inspeksi bukan suatu pengawasan yang berusaha menolong guru untuk mengembangkan dan memperbaiki cara dan daya kerja sebagai pendidik dan pengajar.
Inspeksi dijalankan untuk meneliti atau mengawasi apakah guru atau bawahan menjalankan apa yang sudah diinstruksikan dan ditentukan oleh atasan atau tidak, sampai dimana guru atau bawahan menjalankan tugas yang telah diberikan atasannya. Jadi, inspeksi berarti kegiatan mencari kesalahan.
Untuk menentukan baik buruknya guru atau bawahan dilihat dari sampai dimana ketaatan dan kebaikannya menjalankan tugas-tugas atasan tersebut. Guru atau bawahan tidak pernah diminta pendapat, diajak merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya. Musyawarah dan mufakat tidak berlaku dalam hal ini. Inspeksi merupakan tipe kepengawasan yang otokratis.
Ketika supervisor menjalankan tipe ini, maka yang harus diperhatikan adalah:
a.    Supervisi tidak boleh dilakukan berdasarkan hubungan pribadi maupun keluarga.
b.   Supervisi hendaknya tidak kemungkinan terhadap perkembangan dan hasrat untuk maju bagi bawahannya. Supervisi tidak boleh terlalu cepat mengharapkan hasil, mendesak.
c.    Supervisi tidak boleh menuntut prestasi di luar kemampuan bawahannya.
d.   Supervisi tidak boleh egois, tidak jujur dan menutup diri terhadap kritik dan saran dari bawaannya.

2.   Tipe Laissez Faire
Pada tipe ini, kepengawasan laissez faire membiarkan guru atau bawahan bekerja sekehendaknya tanpa diberi petunjuk dan bimbingan. Guru-guru boleh menjalankan tugasnya menurut apa yang mereka sukai, boleh mengajar apa yang mereka ingini, dan dengan cara yang mereka hendaki masing-masing.
Seorang kepala sekolah yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan bantuan, pengawasan, dan koreksi terhadap pekerjaan guru atau anggota yang dipimpinnya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan sepenuhnya kepada mereka masing-masing, tanpa adanya petunjuk, saran, maupun koordinasi. Supervisor juga diharuskan memberikan argumentasi atau alasan yang rasional tentang tindakan-tindakan serta instruksinya. Hendaknya tidak menonjolkan jabatan atau kekuasaannya agar tidak menghambat kreativitas bawahannya.

3.   Tipe Coersive (Paksaan)
Tipe coersive (paksaan) ini hampir sama dengan tipe inspeksi, supervisor dalam melaksanakan tugasnya turut campur dalam mengembangkan pendidiknya. Dalam tindakan pengawasannya, si pengawas bersifat memaksakan segala sesuatu yang dianggap baik dan benar menurut dirinya sendiri. Sehingga pendapat dan inisiatif guru tidak dihiraukan dan tidak dipertimbangkan, yang penting guru harus tunduk dan menuruti petunjuk yang dianggap baik oleh supervisor itu sendiri. Tipe supervisi seperti ini diperuntukan bagi para pendidik dan tenaga kependidikan yang masih lemah dalam memahami tugas dan tanggung jawabnya.

4.   Tipe Training and Guidance (Pelatihan dan Pembimbingan)
Tipe training and guidance (pelatihan dan pembimbingan) merupakan tipe supervisi yang menekankan keefektifan target supervisi. Kegiatan supervisi dilaksanakan dengan berbasis kepada pengembangan minat dan bakat target supervisi. Tipe supervisi ini berlandaskan suatu pandangan bahwa pendidikan itu merupakan proses pertumbuhan bimbingan. Supervisi yang dilakukan ialah untuk melatih dan memberi bimbingan kepada guru untuk melaksanakan tugasnya. Tipe training and guidanceini cocok digunakan apabila target supervisi masih belum berpengalaman dalam melaksanakan tugas keprofesian pendidikan. Namun, tipe ini dapat diterapkan kepada target supervisi yang telah berpengalaman.
Agar tipe training and guidance ini dapat dijalankan secara efektif, maka supervisor hendaknya juga menyiapkan berbagai macam sikap yang bersinergi dengan tugasnya, antara lain:
a.    Supervisor hendaknya bersikap positif terhadap segala macam persepsi baik yang positif maupun negatif kepada dirinya.
b.   Supervisor dituntut untuk dapat memimpin organisasi profesi pengawas untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam hal pengawasan dan pemantauan baik secara institusional (satuan pendidikan) maupun personal (pendidikan dan tenaga kependidikan).
c.    Supervisor hendaknya memiliki sikap yang superl dalam berkomunikasi kepada segenapstakeholders pendidikan. Sikap yang aktif, efektif dan menyenangkan dalam berkomunikasi akan memperlancar tugas supervisi. Sehinggak pencapaian target akan terealisasi dengan tepat.
d.   Supervisor harus bersikap berani terhadap usaha intimidasi atau tekanan dari pihak lain dalam menjalankan tugas pengawasan dan pembinaan.
e.    Supervisor dituntut bertanggung jawab atas hasil supervisi terhadap satuan pendidikan yang dibinanya. Pertanggungjawaban atas hasil kerja merupakan indikasi bahwa supervisor melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik kepada satuan pendidikan yang dibinanya.

5.   Tipe Demokratis
Keseluruhan tipe supervisi demokratis ini difokuskan ke dalam satuan pendidikan meliputi manajemen kurikulum pembelajaran; kesiswaan; sarana prasarana; ketenagaan; keuangan; hubungan sekolah dengan masyarakat dan layanan khusus.
Kerjasama yang sesuai dan esensial adalah hal yang dapat memajukan atau mengembangkan hal-hal sebagai berikut:
a.    Pengertian yang mendalam pada individu dan kelompok tentang tujuan pendidikan.
b.   Kesediaan dan kerelaan untuk menerima tanggung jawab pribadi dan kelompok bagi tercapainya tujuan bersama.
c.    Kecakapan untuk memberi sumbangan-sumbangan secara efektif dan kreatif bagi terpecahkannya masalah-masalah yang berkaitan dengan pencapaian tujuan.
d.   Koordinasi untuk kepentingan usaha bersama secara keseluruhan.
Bentuk kerjasama yang pokok dan sangat penting bagi fungsi pengawasan yaitu:
a.   Kerjasama dalam merencanakan pekerjaan-pekerjaan, terutama dalam merumuskan tujuan-tujuan dan menentukan prosedur-prosedur pelaksanaannya.
b.   Kerjasama dalam membagi sumber-sumber tenaga dan tanggung jawab-tanggung jawab dalam berbagai aspek pekerjaan.
c.   Kerjasama dalam pelaksanaan tugas-tugas penting bagi tercapainya tujuan-tujuan.
d.   Kerjasama dalam menilai pelaksanaan prosedur serta penilaian terhadap hasil pekerjaan.
Dalam melakukan tugas supervisi, supervisor seyogianya mempelajari tipe dan gaya supervisi. Tentu, tipe ini disesuaikan dengan lokalitas. Tipe atau gaya supervisi dibedakan menjadi lima menurut Asmani (2012: 34), di antaranya adalah sebagai berikut:

1.   Tipe autokratis
Supervisor autokratis menganggap bahwa fungsinya sebagai penentu segala kebijakan yang harus dijalankan dan cara menjalankannya. Selanjutnya, ia mengawasi pelaksanaan kebijakannya oleh bawahan. Tipe ini mirip dengan inspeksi. Otoritas mutlak ada di pihak supervisor.

2.   Tipe demokratis
Supervisor pada tipe ini melaksanakan fungsinya secara konsekuen dengan fungsi supervisi yang sebenarnya. Fungsi tersebut adalah membina dalam arti yang semurni-murninya. Otoritas supervisor seimbang dengan otoritas pihak yang disupervisi.

3.   Tipe Pseudo atau Quasi Demokratis (Demokratis Semu)
Dalam praktiknya, sering terdapat supervisor yang berbuat. Seolah-olah ia demokratis dengan mengadakan rapat untuk memusyawarakan sebuah problem. Tetapi dalam rapat ia memaksakan rencana dan keinginannya agar diikuti oleh bawahan dengan cara atau muslihat yang halus dan licin.

4.   Tipe Manipulasi Diplomatis
Supervisor melaksanakan prinsip demokratis, seperti mengadakan rapat atau musyawarah tetapi dengan kelihaiannya ia berusaha menggiring pikiran seluruh peserta rapat agar dapat menyetujui kehendaknya.

5.   Tipe Laissez-faire­­
Supervisor menginterpretasikan demokrasi dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan. Sehingga, supervisor kehilangan otoritasnya. Supervisor menyerahkan atau mempercayai bawahannya untuk mengambil keputusan.
Pada dasarnya tidak ada supervisor yang secara mutlak menggunakan salah satu dari tipe-tipe tersebut. Tetapi, sesuai dengan situasi dan kondisi atau permasalahan yang dihadapi maka supervisor cenderung berbaur. Fleksibilitas sangat penting diterapkan supaya organisasi berjalan dengan baik, kolektif, dan penuh rasa kekeluargaan. Fleksibilitas ini merupakan indikator bahwa supervisor benar-benar memahami masalah yang ada di lapangan, sehingga pendekatan yang digunakan menjadi relevan dan kontekstual karena mampu menyelesaikan masalah dan membawa perubahan besar dalam dinamika organisasi sekolah.
Berdasarkan teori Johany Windon, ada 4 jenis model supervisi yang dapat dipakai :
1.   Guru dan kepala sekolah tahu masalah yang dihadapinya, sehingga tipe ini lebih mudah menggunakan supervisi terbuka.
2.   Guru tidak tahu masalah yang dihadapi, tetapi kepala sekolah mengetahuinya, tipe ini yang digunakan supervisi direktif
3.   Sebaliknya guru mengetahui permasalahannya namun kepala sekolah tidak tahu, tipe ini sebaiknya menggunakan jenis model klinis
4.   Jika guru dan kepala sekolah sama-sama tidak mengtahui permasalahannya maka dengan mendatangkan pihak ketiga orang lain merupakan jalan yang tepat.

Share:

2 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino Resort - JT Hub
    Harrah's Cherokee 수원 출장안마 Casino Resort features 671 군산 출장샵 guest 인천광역 출장안마 rooms, suites and villas, over 3,000 slot machines and 26 table 여주 출장샵 games, a luxury spa, 하남 출장안마

    BalasHapus

TENTANG DI

Foto saya
Dapur Ilmiah (DI) merupakan blog yang secara konsisten menayangkan berbagai penelitian ilmiah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Salam DI.

PENGUNJUNG

KATEGORI

Breaking News

Pages

Theme Support