A. Pendahuluan
Salah satu komponen penting dari sistem
pendidikan tersebut adalah kurikulum, karena kurikulum merupakan komponen
pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan, baik oleh
pengelola maupun penyelenggara, khususnya oleh guru dan kepala sekolah. Menurut
Sukmadinata,[1]
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan.
Kurikulum memberikan arahan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya
tujuan-tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan
memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta
proses pendidikan.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan
memiliki kedudukan yang sangat sentral dalam seluruh kegiatan pembelajaran,
yang menentukan proses dan hasil belajar. Sedangkan Pengembangan
kurikulum dilakukan untuk mewujudkan adanya nilai tambah dari yang telah dilakukan
sesuai denga kurikulum potensial sesuai dengan tujuan pendidikan. Oleh karena
itu, pemahaman tentang kurikulum bagi para tenaga pendidik mutlak diperlukan.
B. Hakikat
Kurikulum
Kata Kurikulum dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan
merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Inggris “curriculum”. Menurut makna
kamus “curriculum” artinya the subjects that are included in a course of
study or taught in a school, college, etc.[2]
(mata pelajaran/ kuliah yang dimasukkan ke dalam bagian pelajaran atau
pengajaran dalam sekolah, perguruan tinggi, dsb.)
Beberapa literatur menyebutkan bahwa kata
“curriculum” itu sendiri secara etimologis diambil dari bahasa Yunani, yaitu curir
yang artinya pelari dan curere
yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau berarti tempat berpacu atau tempat berlomba. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia oleh
raga. Darwin Syah menyebutkan
kurikulum diartikan sebagai jarak perlombaan yang harus ditempuh oleh pelari
dalam suatu arena tempat berlomba.[3] Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan
dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran
pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Ada juga yang
menyebutkan bahwa kata “curriculum” berasal dari bahasa Latin, a little
racecaurse (suatu jarak yang ditempuh dalam pertandingan olah raga), yang
kemudian dialihkan ke dalam pengertian pendidikan menjadi circle of
instruction yaitu suatu lingkaran pengajaran, di mana guru dan murid
terlibat di dalamnya.[4] Menurut Wiles dan
Bondi kata “Currere”
dalam bahasa Latin diartikan to run (berlari) atau to run the course
(menempuh jarak). Sehingga, menurut definisi tradisional, kurikulum sekolah
berarti rangkaian mata pelajaran.[5]
Dalam bahasa Arab, istilah
“kurikulum” bisa diterjemahkan dengan manhaj, yakni jalan yang terang,
atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam
konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh
pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan dan sikap
serta nilai-nilai. Al-Khauly sebagaimana dikutip oleh Muhaimin menjelaskan
bahwa al-Manhaj sebagai seperangkat rencana dan mendia untuk
mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan.[6]
Secara
terminologis, terdapat banyak definisi dari beberapa ahli tentang kurikulum,
diantaranya:
a.
Roberts
M. Hutchins (1936), menyatakan: The curriculum should consist of permanent
studies - the rules of grammar, reading, rhetoric and logic, and mathematics
(for the elementary and secondary school), and the greatest books of the western world (beginning at the secondary
level of schooling.[7]
Kurikulum harus mencakup bahan pelajaran permanen, yakni tata bahasa, membaca,
retorika dan logika, dan matematika (untuk sekolah dasar dan menengah), dan
buku-buku terbesar dunia barat, yakni dimulai dari level menengah.
b.
M. Arifin, menganggap kurikulum sebagai
seluruh bahan pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan dalam
system institusional pendidikan[8];
c.
Hollis
L. Caswell dan Doak S. Campbell (1935), menyatakan “The
Curriculum is composed of all of the experiences children have under the guidance
of the school.”[9]
Kurikulum terdiri dari semua pengalaman yang diperoleh anak-anak (peserta
didik) di bawah bimbingan sekolah.
d.
Hass, mengemukakan[10]:
“Curriculum is defined as “all of the planned experience that leaners have
under the school’s guidance” it includes, of cours, all school activities and
planned school service such as the library, health care, assemblies, the food
service and lunchrooms, and field trips”. Kurikulum adalah seluruh
pengalaman peserta didik yang direncanakan atas bimbingan langsung sekolah,
termasuk sejumlah mata pelajaran, dan segala aktivitas dan perencanaan sekolah,
seperti pelayanan kepustakaan, menjaga kesehatan, mengadakan pertemuan,
menyediakan ruang makan siang serta mengadakan karyawisata.
e.
Oemar Hamalik (2005), Kurikulum adalah program pendidikan yang
disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa.[11] Sedangkan dalam
tulisannya yang lain, dia menyatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis
tentang kemampuan yang harus dimliki berdasarkan standar nasional, materi yang
perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai
pengalaman tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat
pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan
dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya
pada satuan pendidikan tertentu.[12]
f.
Zakiah
Daradjat (1992), memandang kurikulum sebagai suatu program yang direncanakan
dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapi sejumlah.
Tentunya, masih
banyak lagi definisi-definisi kurikulum dari para ahli yang tidak memungkinkan
disajikan semuanya dalam makalah ini. Tetapi kebanyakan juga
serupa atau semakana dengan definisi-definisi tersebut di atas. Dari beberapa
definisi yang telah dipaparkan, bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa:
Pertama, pengertian kurikulum
dalam pendidikan bisa diartikan
secara sempit maupun secara luas. Secara sempit berrati kurikulum hanya
dipandang sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan
siswa disekolah atau perguruan tinggi. Secara lebih luas kurikulum tidak
dimaknai hanya terbatas pada mata pelajaran saja, kurikulum diartikan sebagai
aktivitas apa saja yang dilakukan sekolah dalam rangka mempengaruhi anak dalam
belajar untuk mencapai suatu tujuan, termasuk di dalamnya kegiatan belajar
mengajar, mengatur strategi dalam proses belajar mengajar, cara mengevaluasi
program pengembangan pengajaran dan sebagainya.
Kedua, definisi dari kurikulum kiranya dapat dikelompokkan
kedalam beberapa dimensi pengertian, yakni: (1) Kurikulum sebagai sejumlah mata
pelajaran; (2) Kurikulum sebagai seluruh
aktivitas atau pengalaman peserta didik; (3) Kurikulum sebagai program atau
rencana pembelajaran.
Pengertian kurikulum senantiasa berkembang terus sejalan dengan
perkembangan teori dan praktik pendidikan. Dengan beragamnya pendapat mengenai
pengertian kurikulum, maka secara teoretis kita agak sulit menentukan satu
pengertian yang dapat merangkum semua pendapat. Pada saat sekarang istilah
kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, satu dimensi dengan dimensi
lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut yaitu: (1)
kurikulum sebagai suatu ide/gagasan; (2) kurikulum sebagai suatu rencana
tertulis yang sebenamya merupakan perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide;
(3) kurikulum sebagai suatu kegiatan yang sering pula disebut dengan istilah
kurikulum sebagai suatu realita atau implementasi kurikulum. Secara teoretis
dimensi kurikulum ini adalah pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana
tertulis; dan (4) kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari
kurikulum sebagai suatu kegiatan.
Dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, menjelaskan:
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[13]
Dengan ini kiranya dapat dipahami bahwa dalam sistem pendidikan di Indonesia,
kurikulum lebih cenderung dipandang sebagai sebuah perencanaan program
pendidikan.
C. Komponen
Kurikulum
Kurikulum dapat
diuraikan secara struktural, yang memuat setidak-tidaknya empat komponen
penting yang saling berkaitan satu sama lain. Hasan Langgulung (1988)
menguraikan keempat komponen kurikulum tersebut dengan rinci,[14]
yaitu:
1. Tujuan-tujuan
yang ingin dicapai oleh suatu pendidikan. Secara eksplisit yang ingin dicapai
adalah orangyang bagaimana yang akan dibentuk dengan kurikulum tersebut.
2. Knowledge
(pengetahuan), informasi-informasi, data-data, aktivitas-aktivitas dan
pengalaman-pengalaman yang menjadikan kurikulum itu terbentuk. Yang kedua ini
semakna dengan mata pelajaran.
3. Metode
dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh guru-guru untuk mengajar dan
memotivasi peserta didik untuk mengarahkan mereka ke arah yang dikehendaki oleh
kurikulum.
4. Metode
dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan
hasil proses pendidikan yang diencanakan kurikulum tersebut.
Sedangkan S.
Nasution (2008) memaparkan empat komponen tersebut yang didasarkan pada empat
pertanyaan penting yang dilontarkan oleh W. Tyler,[15]
yaitu:
1. Tujuan
apa yang harus dicapai sekolah?
2.
Bagaimana memilih bahan pelajaran guna
mencapai tujuan itu?
3.
Bagaimana bahan disajikan agar efektif
diajarkan?
4.
Bagaimana efektivitas belajar dapat
dinilai?
D. Kedudukan
Kurikulum Dalam Pendidikan
Kurikulum
merupakan unsur penting pada setiap lembaga pendidikan. Secara fisik, kurikulum
dapat berbentuk suatu dokumen berisikan berbagai komponen seperti pikiran tentang
pendidikan, tujuan yang akan dicapai oleh kurikulum tersebut, konten yang
dirancang dan harus dikuasai peserta didik untuk menguasai tujuan, proses yang
dirancang untuk menguasai konten, evaluasi yang dirancang untuk mengetahui
penguasaan kemampuan yang dinyatakan dalam tujuan, serta komponen lainnya.
Secara fisik,
kurikulum dapat juga berbentuk proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik
dan guru di sekolah sehingga dapat diamati baik secara langsung mau pun melalui
alat perekam tertentu. Pada dasarnya, kurikulum merupakan jantung suatu proses
pendidikan.[16]
Yakni, berkenaan dengan unsur-unsur fisik yang terlibat dalam proses pendidikan
dan unsur-unsur non fisik seperti proses berfikir, proses penyimpanan
informasi, proses pembentukan sikap, proses internalisasi atau pun proses
pembentukan habit yang hanya dapat diketahui melalui suatu prosedur dan alat
tertentu yang diyakini mewakili konstruk yang dimaksud.
Sejarah mencatat
sejak tahun 1968 kurikulum mengalami perubahan sebanyak 6 kali, yakni kurikulum
1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004 dan
kurikulum 2006 kurikulum KTSP. Pembaharuan kurikulum dilakukan bukan berarti
ganti menteri ganti kurikulum, namun disebabkan adanya perubahan dalam
masyarakat, eksploitasi Ilmu Pengetahuan/Teknologi, Seni, Budaya dan lain-lain
mengharuskan adanya perubahan kurikulum.[17]
Perubahan Kurikulum tersebut, merupakan salah satu inovasi dalam dunia
pendidikan. Kurikulum berubah dikarenakan kurikulum mempunyai “kedudukan
sentral” dalam proses pendidikan.[18]
Pendidikan pada
hakikatnya berintikan interaksi edukatif antara pendidik dengan peserta didik. Tujuan dari interaksi
edukatif tersebut untuk mewujudkan aspek-aspek kurikulum yang berlaku mengarah
pada tercapainya tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Interaksi edukatif
tersebut juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan, di mana kegiatan pendidikan
terjadi.[19]
Hal serupa
disampaikan oleh Oliva dalam bukunya Developing the Curriculum, bahwa
Kurikulum adalah perangkat pendidikan yang secara langsung mewakili pendidikan
dalam menjawab tantangan masyarakat.[20]
Tantangan masyarakat tersebut dapat dikategorikan dalam berbagai jenjang
seperti jenjang nasional, lokal, dan lingkungan terdekat (daerah). Tantangan
tersebut tidak muncul begitu saja tetapi direkonstruksi oleh sekelompok orang
dan umumnya dilegalisasikan oleh pengambil keputusan.
Rekonstruksi
tersebut menyangkut berbagai dimensi kehidupan dalam jenjang-jenjang tersebut.
Rekonstruksi itu memang sulit dan menjadi semakin sulit ketika dia harus merajut
berbagai kepentingan yang berkenaan dengan berbagai jenjang dan dimensi
kehidupan. Kesalahan yang umum terjadi adalah rekonstruksi tersebut terlalu
fokus pada suatu jenjang, tingkat nasional misalnya, dan atau pada suatu
dimensi seperti suatu disiplin ilmu tertentu. Kelemahan dalam rekonstruksi juga
terjadi pada waktu menggunakan asumsi yang keliru untuk meproyeksi kebutuhan
masyarakat di masa depan dan mendasarkan rekonstruksi pada asumsi tersebut.
Berdasarkan
paparan di atas, maka kurikulum bisa dianggap sebagai jantungnya pendidikan.
Artinya, aktivitas edukasi antara pendidik dengan peserta didik sangat
dipengaruhi oleh muatan-muatan yang ada dalam krikulum. Sehingga dengan tidak
adanya kurikulum seakan-akan kegiatan pendidikan tidak mungkin terjadi.
E. Urgensitas
Pengembangan Kurikulum
Mengingat
pentingnya kedudukan kurikulum dalam pendidikan, maka pengembangan kurikulum
juga sangat diperlukan. Pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah proses
penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta
bagaimana cara mempelajarinya. Menurut Wiles dan Bondi, pengembangan kurikulum
adalah sebuah proses yang mengorganisir pembelajaran untuk mengambil tindakan
sesuai dengan standar yang ditentukan.[21]
Seller dan
Miller (1985), sebagaimana dikutip oleh Wina Sanjaya, mengemukakan bahwa proses
pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus. Dengan ini Seller memandang bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai
dari menentukan orientasi kurikulum, yakni kebijakan-kebijakan umum, misalnya
arah dan tujuan pendidikan, pandangan tentang hakekat belajar dan hakekat anak
didik, pandangan tentang keberhasilan implementasi kurikulum, dan lain
sebagainya.
Berangkat dari
orientasi tersebut, selanjutnya kurikulum dikembangkan menjadi pedoman
pembelajaran, diimplementasikan dalam proses pembelajaran, dan akhirnya
dievaluasi. Hasil evaluasi itulah yang kemudian dijadikan bahan dalam
menentukan orientasi, begitu seterusnya, hingga membentuk siklus.
Orientasi
pengembangan kurikulum menurut Seller menyangkut 6 aspek, yaitu:
1. Tujuan
pendidikan menyangkut arah kegiatan pendidikan. Artinya,hendak dibawa kemana
siswa yang kita didik itu.
2.
Pandangan tentang anak: apakah anak
dianggap sebagai organisme yang aktif atau pasif.
3.
Pandangan tentang proses pembelajaran:
apakah proses pembelajaran itu dianggap sebagai proses transformasi ilmu
pengetahuan atau mengubah perilaku anak.
4.
Pandangan tentang lingkugan: apakah
lingkungan belajar harus dikelola secara formal, atau secara bebas yang dapat
memungkinkan anak bebas belajar.
5.
Konsepsi tentang peranan guru: apakah
guru harus berperan sebagai instruktur yang bersifat otoriter, atau guru
dianggap sebagai fasilitator yang siap memberi bimbingan dan bantuan pada anak
untuk belajar.
6.
Evaluasi belajar: apakah mengukur
keberhasilan dilakukan dengan tes atau non tes.
Mengacu pada
proses pengembangan kurikulum sebagai siklus seperti yang dikemukakan Seller di atas, maka tampak bahwa
pengembangan kurikulum pada hakikatnya adalah pengembangan komponen-komponen
yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri serta pengembangan komponen
pembelajaran sebagai implementasi kurikulum. Dengan demikian, maka pengembangan
kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yaitu sisi kurikulum sebagai
pedoman yang kemudian membentuk kurikulum tertulis dan sisi kurikulum sebagai
implementasi yang tidak lain adalah sistem pembelajaran.
Menurut Nana
Sudjana, Pengembangan kurikulum merupakan tahap lanjutan dari pembinaan
kurikulum, yakni usaha untuk meningkatkan dengan adanya nilai tambah dari apa
yang telah dilaksanakan sesuai dengan kurikulum potensial.[22]
Usaha tersebut dilaksanakan setelah adanya evaluasi, sehingga dapat diketahui
kekurangan dari aspek pelaksanaan dan pembinaan kurikulum. Dengan mengetahi
kekurangan tersebut, pengembang kurikulum segera mencarikan solusi dan
mengambil alternatif lain yang lebih baik, dengan tujuan pelaksanaan dan
pembinaan kurikulum dari tahun ke tahun terus meningkat sehingga ada nilai
tambah. Siklus aktivitas seperti itu kemudian disebut sebagai pengembangan
kurikulum.
Proses
pengembangan kurikulum menurut Zais, harus dimulai dengan meletakkan dasar
dalam pengembangan kurikulum, yakni asumsi-asumsi filosofis sebagai sistem
nilai (value system) atau pandangan hidup suatu bangsa. Berdasarkan asas
filosofis tersebut kemudian menentukan hakikat pengetahuan, sosiokultural,
hakikat anak didik, dan teori-teori belajar. dengan kata lain, landasan
pengembangan kuriklum itu meliputi asas filosofis, asas psikologis, asas sosial
budaya, dan asas teknologis.[23]
Setelah
menentukan landasan-landasan sebagai fondasi kurikulum, pada tahap selanjutnya,
menentukan komponen-komponen kurikulum yang menyangkut tujuan, baik tujuan umum
maupun tujuan khusus, isi atau materi pelajaran, kegiatan pembelajaran, dan
evaluasi. Jadi, pada dasarnya proses pengembangan kurikulum adalah proses
penyusunan keempat komponen tersebut yang dilandasi oleh asas-asas
pengembangannya sebagai fondasi.
F. Landasan
Pengembangan Kurikulum
Dalam pengembangan
kurikulum, diperlukan landasan-landasan sebagai asas dalam melakukan kerja pengembangan kurikulum pendidikan. Ini harus dijadikan
acuan bagi seorang perumus kurikulum, jika tidak maka hasil kerja pengembangan
tidak akan memiliki nilai efektifitas terhadap terwujudnya tujuan – tujuan
pendidikan.
Hal diatas
dirumuskan dari definisi landasan itu sendiri yang mengandung arti sebagai suatu gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran,
sesuatu prinsip yang
mendasari, Contohnya seperti landasan kepercayaan
agama, dasar atau
titik tolak untuk munculnya
ketaatan dalam bentuk lahir yakni ibadah. Dengan demikian landasan
pengembangan kurikulum dapat
diartikan sebagai suatu
gagasan, suatu asumsi, atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak dalam melakukam kegiatan mengembangkan
kurikulum.[24]
Landasan dimaksud
yaitu: (1) landasan filosofis; (2) psikologis; (3) Sosiologis; (4) perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.
Landasan
Filosofis
Pandangan-pandangan filsafat
sangat dibutuhkan dalam pendidikan, terutama
dalam menentukan arah
dan tujuan pendidikan. Filsafat akan menentukan arah ke mana peserta
didik akan dibawa. Untuk itu harus ada
kejelasan tentang pandangan hidup
manusia atau tentang hidup dan eksistensinya[25].
Filsafat atau pandangan hidup yang
dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau bahkan yang dianut
oleh perorangan
akan sangat mempengaruhi tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Sedangkan tujuan
pendidikan sendiri pada dasarnya merupakan
rumusan yang komprehensif
mengenai apa yang seharusnya dicapai.
Tujuan pendidikan memuat
pernyataan-pernyataan mengenai berbagai
kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik selaras dengan
sistem nilai dan falsafah
yang dianutnya. Dengan demikian, sistem nilai atau filsafat yang
dianut oleh suatu
komunitas akan
memiliki keterkaitan yang
sangat erat dengan rumusan tujuan pendidikan yang
dihasilkannya. Dengan kata lain, filsafat suatu
negara tidak bisa
dipungkiri akan mempengaruhi tujuan pendidikan di
negara tersebut.

Oleh
karena itu, tujuan pendidikan
di suatu negara
akan berbeda dengan
tujuan pendidikan di negara
lainnya, sebagai implikasi
dari adanya perbedaan filsafat yang dianutnya.
Pengembangan kurikulum
membutuhkan filsafat sebagai acuan
atau landasan berpikir.
Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab
permasalahan-permasalahan sekitar: (1)
bagaimana seharusnya tujuan
pendididikan itu dirumuskan,
(2) isi atau materi pendidikan yang bagaimana yang seharusnya disajikan kepada siswa, (3) metode pendidikan apa yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan,
dan (4) bagaimana peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik.[26]
dan (4) bagaimana peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik.[26]
Jawaban atas
permasalahan tersebut akan
sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak
pengembangan kurikulum. Landasan filsafat tertentu
beserta konsep-konsepnya yang
meliputi konsep metafisika, epistemologi,
logika dan aksiologi berimplikasi terhadap konsep-konsep pendidikan yang
meliputi rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan, peranan pendidik dan
peserta didik.
2.
Landasan
Psikologis
Pendidikan senantiasa berkaitan
dengan perilaku manusia. Dalam setiap proses pendidikan terjadi interaksi antara
peserta didik dengan lingkungannya, baik
lingkungan yang bersifat fisik maupun
lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik menuju kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental, emosional, moral,
intelektual, maupun sosial. Harus diingat
bahwa walaupun pendidikan
dan pembelajaran adalah upaya untuk mengubah perilaku manusia,
akan tetapi tidak semua perubahan
perilaku manusia/peserta didik mutlak sebagai akibat dari intervensi program pendidikan.
Perubahan
perilaku peserta didik
dipengaruhi oleh faktor kematangan dan
faktor dari luar
program pendidikan atau lingkungan.
Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses
perubahan perilaku peserta didik. Kurikulum diharapkan dapat menjadi alat untuk mengembangkan kemampuan potensial menjadi
kemampuan aktual peserta didik
serta kemampuan-kemampuan baru
yang dimiliki dalam waktu yang
relatif lama.
Pengembangan kurikulum
harus dilandasi oleh
asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta
didik, serta bagaimana peserta didik belajar.
Kondisi Psikologis adalah kondisi karakteristik psikofisik manusia
sebagai individu yang dinyatakan dalam berbagai bentuk prilaku dalam
interaksinya dalam lingkungan. Prilakunya merupakan cirri dari kehidupannya
yang tampak maupun yang tidak tampak, yakni prilaku kognitif, afektif maupun
psikomotorik.
Minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari
pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi
belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perilaku individu pribadi anak didik berkenaan dengan perkembangannya. Dalam
psikologi perkembangan yang dalam term tertentu disamakan dengan ilmu Jiwa
Perkembangan, di dalamnya dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan
perkembangan anak, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu,
serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan
kurikulum.
Untuk dijadikan landasan dalam mempertimbangkan bobot
belajar pada masing-masing tingkatan dan jenjang serta beban belajar yang mesti
diselaraskan dengan tingkat perkembangan psikologi dan kejiwaan peserta didik.[27]
3.
Landasan
Sosial-Budaya
Kurikulum dapat
dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan,
kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa
pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke
lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup,
bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Peserta didik
berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal
dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula.
Kehidupan
masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan
dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita mengharapkan
melalui pendidikan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan
masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus
disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan
yang ada di masyakarakat. Karena setiap lingkungan masyarakat masing-masing
memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola
hubungan antar anggota masyarakat.
Ada dua
pertimbangan sosial budaya yang dijadikan landasan dalam pengembangan
kurikulum: pertama,Setiap orang dalam masyarakat selalu berhadapan dengan
masalah anggota masyarakat yang belum dewasa dalam kebudayaan. Maksunya manusia
belum mampu menyesuaikan dengan cara kelompoknya. Kedua,
Kurikulum dalam setiap masyarakat merupakan refleksi dari cara orang perfikir,
berasa, bercita-cita atau kebiasaan. Karena itu untuk membina struktur dan
fungsi kurikulum, perlu memahami kebudayaan[28]
Karena itu, para
pengembang kurikulum harus:
— Mempelajari
dan memahami kebutuhan masyarakat.
—
Menganalisis
budaya masyarakat tempat sekolah berada.
—
Menganalisis kekuatan serta potensi
daerah.
—
Menganalisis
syarat dan tuntunan tenaga kerja.
—
Menginterpretasi
kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat[29].
Dari penjelasan
tersebut dapat diungkapkan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban
masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang
akan datang. Penerapan teori, prinsip, hukum,
dan konsep-konsep yang terdapat
dalam semua ilmu
pengetahuan yang ada
dalam kurikulum, harus
disesuaikan dengan kondisi
sosial budaya masyarakat
setempat, sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam hidupnya.
Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan kebutuhan
masyarakat dan perkembangan masyarakat.
Disinilah tuntutan masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan
kurikulum. Tujuh fungsi sosial pendidikan, yaitu: [30]
1) Mengajar
keterampilan, 2) Mentransmisikan budaya, 3) Mendorong adaptasi lingkungan, 4) Membentuk kedisiplinan, 5) Mendorong bekerja berkelompok, 6) Meningkatkan perilaku etik, dan
7) Memilih bakat dan memberi penghargaan
prestasi.
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan
pertimbangan: Pertama, Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal
kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan
lingkungan budaya, keluarga, masyarakat
sekitar, dan sekolah/lembaga pendidikan. Oleh
karena itu, sekolah/lembaga pendidikan mempunyai tugas
khusus untuk memberikan
pengalaman kepada para
peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.
Kedua Kurikulum pada
dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya. Aspek sosiologis adalah yang
berkenaan dengan kondisi sosial
masyarakat yang sangat beragam, seperti masyarakat industri, pertanian,
nelayan, dan sebagainya. Pendidikan di sekolah
pada dasarnya bertujuan
mendidik anggota masyarakat
agar dapat hidup berintegrasi , berinteraksi
dan beradaptasi dengan
anggota masyarakat lainnya
serta meningkatkan kualitas
hidupnya sebagai mahluk berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahwa kurikulum sebagai
salah satu alat untuk mencapai
tujuan pendidikan bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.[31]
4.
Landasan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sejak abad
pertengahan ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang pesat.
Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan
dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang. Dalam abad pengetahuan
sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan dengan standar mutu
yang tinggi.
Terlebih berkaitan
dengan teknologi komunikasi dan jaringan. Sifat pengetahuan dan keterampilan
yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan sangat canggih, maka disinilah diperlukan kurikulum
yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan
belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih
dan menilai pengetahuan, serta mengatasi situasi yang ambigu dan antisipatif
terhadap ketidakpastian karena berbagai penemuan teknologi baru terus
berkembang.
Ilmu pengetahuan adalah
seperangkat pengetahuan yang disusun
secara sistematis yang
dihasilkan melalui riset
atau penelitian. Sedangkan teknologi
adalah aplikasi dari
ilmu pengetahuan untuk
memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupan.
Perkembangan dalam
bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan
komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu,
kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan
sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan
bersama, kepentingan sendiri dan kelangsungan hidup manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi secara langsung berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di dalamnya
mencakup pengembangan
isi/materi pendidikan, penggunaan strategi dan media pembelajaran, serta
penggunaan sistem evaluasi. Secara
tidak langsung menuntut dunia pendidikan untuk dapat membekali peserta didik
agar memiliki kemampuan memecahkan masalah
yang dihadapi sebagai
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Selain
itu perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.
G.
Penutup
Mengingat begitu
pentingnya pengembangan kurikulum demi kemajuan pembangunan kualitas sumber
daya manusia maka sangatlah penting bagi seorang akadmisi memahami bagaimana
kurikulum itu harus dikembangkan. Kurikulum baik pada tahap kurikulum sebagai
ide, rencana, pengalaman maupun kurikulum
sebagai hasil dalam pengembangannya harus mengacu atau
menggunakan landasan yang kuat dan kokoh, agar kurikulum tersebut dapat
berfungsi serta berperan sesuai dengan tuntutan pendidikan yang ingin
dihasilkan seperti tercantum dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yang
telah digariskan dalam UU no. 20 tahun 2003.
[1] Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001), 4.
[2] Martin H. Manser at.al, Oxford Advanced
Learner Dictionary, International Student’s Edition (Oxford: Oxford
Uneversity Press, 1995), 360.
[3] Darwin Syah, Perencanaan Sistem
Pengajaran (Jakarta: Gaung Persada Prees, 2007), 10.
[4] Muzaiyyin
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam
(Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 78.
[5] Jon Wiles dan Joseph Bondi, Curriculum
Development: A Guide to Practice (New Jersey: Pearson Education, Inc.,
2002), 29.
[6] Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo,
2004), 1
[7] Robert M. Hutchins, The Higher Learning
in America (New Haven, CT: Yale University Press, 1936), 82.
[8] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 183.
[9] Hollis L. Caswell dan Doak S.
Campbell, Curriculum Development (New York: American Book Company,
1935), 66.
[10] Glen Hass. Curriculum Development, A
Humanized System Approach (Belmont, California: Lear Siegler Inc., 1980),
4.
[11] Oemar
Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 65.
[12] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan
Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 91.
[13] Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Bandung: Citra
Umbara), 74; BSNP, Panduan Penyusunan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: BSNP, 2006), 3.
[14] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan
Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), 303.
[15] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, 17.
[16] P.F. Oliva, Developing the
Curriculum, 4th ed. (New York: Longman, 1997), 54.
[17] S. Nasution, Kurikulum dan Pembelajaran
(Bandung: Jemmars, 2005), 219.
[18] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum: Teori & Praktik (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), 4.
[19] Nana Syaodih S., Prinsip dan Landasan
Pengembangan Kurikulum, dalam Anik Ghufron, Fondasia: Majalah Ilmiah
Fondasi Pendidikan,Volume 1 Nomor 9 (Maret, 2008), 4.
[20] P.F. Oliva, Developing the Curriculum,
60.
[21] Jon Wiles dan Joseph Bondi, Curriculum
Development, 50.
[22] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan
Kurikulum di Sekolah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), 9.
[23] Ibid, 36.
[25] Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan,
Jakarta,Rosdakarya, 3-8
[26] Abu Ahmadi & Nur
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta:Rineka cipta,m 2001, 133-135
[27] Nana Sudjana, Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Jakarta:Sinarbaru Algesindo,
1988,14-16
[28] A.Hamid Syarief, Pengembanga Kurikulum, Bandung:...
[29] Abdullah Idi ,
Pengembangan Kurikulum, teori & praktek , yoyakarta, arr ruzz media,2007,77
[30] Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan, Teoritis dan praktis, Bandung;Rosdakarya, 1995, 18-23
[31] Ibid,