A. Pendahuluan
Indonesia merupakan bangsa yang
tumbuh dan berkembang karena pendidikan. Para pelopor peradaban bangsa telah
mampu menunjukkan dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Tak
ayal kalau pendidikan bangsa ini lahir dan tumbuh dari masyarakat yang
berkonsep pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan pertama Indonesia
yang lahir dari keinginan masyarakat untuk merubah taraf kualitas hidupnya.
Pendidikan di Indonesia banyak diselenggarakan oleh organisasi kemasyarakatan
yang notabene beragama islam. Persatuan Islam merupakan salah satu organisasi
islam berbasis masyarakat yang menerapkan pendidikan sebagai entri point untuk
merubah peradaban anggotanya menjadi lebih baik.
Pendidikan islam muncul atas
keinginan masyarakat, sehingga bentuk pelaksanaannya harus disesuaikan dengan
keinginan masyarakat. Mengingat masyarakat selalu berkembang mengikuti
perkembangan zaman, maka secara otomatis pendidikan islam harus pula mengikuti
perkembangan tersebut. Lalu muncullah pembaruan pendidikan islam yang dilakukan
organisasi islam tak terkecuali Persatuan Islam (Persis)[1].
Persis merupakan organisasi yang
bergerak dalam pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan yang sesuai dengan
tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Seperti rencana jihad atau program kerja Persis
adalah mendidik dan membina para anggotanya agar mengajarkan pendidikan untuk
menanamkan, memperdalam dan mengokohkan pengertian akidah, ibadah, muamalah dan
akhlak islam[2].
Diantara tokoh Persis yang berperan
besar dalam mengajaran dan dakwah adalah Ahmad Hassan. Beliau dipandang sebagai
guru besar persatuan islam. A. Hassan adalah ilmuwan Persis, seorang mujtahid
dan sosok ulama yang mandiri dan serba bisa. Sejak tahun 1924, Persis telah
menyelenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Lembaga
pendidikan itu kemudian semakin berkembang sejak Ahmad Hassan masuk dalam
Persis pada tahun 1926. Perkembangan di Persis tidak hanya terjadi pada
pendidikan tetapi di bidang literasi dan publikasi seperti pencetakan buku-buku
dan majalah juga berkembang pesat.
Ahmad Hassan merupakan seorang
pemikir islam yang sangat menyukai diskusi. Bahkan sejarah telah mencatat bahwa
Ahmad Hassan sering melakukan diskusi kritis bersama Presiden Soekarno tentang
berbagai hal yang salah satunya adalah diskusi tentang konsep Negara bangsa[3].
Mengingat Hassan sangat berperan
dalam pendidikan anak bangsa, maka sangat penting untuk mendiskusikan pemikirannya
terutama tentang pendidikan islam.
B. Biografi
Ahmad Hassan
Ahmad Hassan lahir di Singapura
pada tahun 1887. Ayahnya bernama Ahmad Sinna Vappu Maricar berasal dari India
yang masih merupakan keturunan ulama Mesir yang sekaligus berprofesi sebagai
wartawan dan penerbit buku serta surat kabar berbahasa Tamil. Ibunya bernama
Muznah berasal dari Palekat, Madras. Keduanya menikah di Surabaya kemudian
menetap di Singapura[4]. Ahmad
Hassan merupakan nama yang dipengaruhi oleh budaya Singapura. Nama aslinya
adalah Hassan bin Ahmad, namun karena mengikuti kelaziman budaya Melayu yang
meletakkan nama keluarga atau orang tua di depan nama asli, akhirnya nama
Hassan bin Ahmad berubah menjadi Ahmad Hassan[5].
Ahmad Hassan menikah pada tahun
1911 dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini
ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; Abdul Qadir, Jamilah, Abdul Hakim,
Zulaikha, Ahmad, Muhammad Sa‘id, dan Manshur. Pada tahun 1940, Ahmad Hassan
pindah ke Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, untuk mendirikan dan mengasuh pondok
pesantren Persis. Dan pada tanggal 10 November 1958, Ahmad Hassan meninggal di
rumah sakit Dr. Sutomo Surabaya[6].
1. Perjalanan
Pendidikan Ahmad Hassan
Pada usia 7 tahun, Ahmad Hassan
sudah mulai mempelajari al-Qur’an dan pengetahuan asas dalam bidang agama.
Berkat ketekunan dan kecerdasannya, kedua pelajaran itu dapat diselesaikannya
dalam waktu dua tahun. setelah itu Ahmad Hassan masuk sekolah Melayu selama 4
tahun dan mempelajari bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa
Inggris[7].
Secara formal, Ahmad Hassan tidak
pernah benar-benar menamatkan pelajarannya di sekolah dasar yang ditempuhnya di
Singapura itu, karena pada usia 12 tahun Ahmad Hassan sudah ikut berdagang,
menjaga toko iparnya yang benama Sulaiman. Sambil berdagang, Ahmad Hassan
memperdalam ilmu agamanya pada Haji Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di
Minto Road. Haji Ahmad bukanlah seorang alim besar , tetapi buat ukuran
Bukittiung ketika itu, ia adalah seorang guru yang disegani dan berakhlak
tinggi. Pelajaran yang diterima Ahmad Hassan sama saja dengan apa yang diterima
anak-anak muda waktu itu, yakni bagaimana cara sembahyang, wudlu', puasa dan
lain-lain.
Ahmad Hassan mempelajari ilmu nahwu
dan sharaf pada Muhammad Thaib. Ahmad Hassan sebagai seorang yang keras
kemauannya dalam belajar ilmu tata bahasa Arab, nahwu dan sharaf, tidak merasa
keberatan menerima segala persyaratan yang diperuntukan baginya. Persyaratan
itu antara lain: pertama, Ahmad Hassan harus datang pagi-pagi
sebelum sembahyang shubuh. Kedua, Ahmad Hassan tidak boleh
naik kendaraan ke tempat gurunya itu. Setelah kira-kira empat bulan belajar
nahwu dan sharaf, ia merasa bahwa pelajarannya tidak mendapat kemajuan. Namun
apa yang disuruh gurunya dikerjakan dan dihafal juga, tanpa dimengerti, ahirnya
semangat belajarnya menurun. Dalam keadaan demikian, untunglah gurunya tersebut
pergi haji dan beliau beralih belajar pada Abdullah Masnawi. Beliau semata-mata
belajar bahasa arab dan menempuhnya selama waktu tiga tahun[8].
2. Riwayat
Pekerjaan Ahmad Hassan
Pada masa remaja, Ahmad Hassan
sudah mencari nafkah dari pelayan toko sampai membuka Volkanisir Ban. Beliau
pun tetap rajin menuntut ilmu, dan setelah ilmunya dirasa cukup, pada tahun
1910, Ahmad Hassan mengajar di Madrasah, dari tingkat Ibtidaiyah sampai Tsanawiyah.
Pada tahun 1912, Hassan bekerja di surat kabar “Utusan Melayu” yang
diterbitkan oleh Singapore Press. Ahmad Hassan menulis artikel yang berisikan
nasehat-nasehat, mengajak pada kebaikan, dan menjauhi kemunkaran. Tidak jarang
Ahmad Hassan menulis dalam bentuk puisi yang cukup mengelitik dan menyentuh[9].
Suratan takdir Ahmad Hassan rupanya
tidak hanya bermukim di Singapura. Pada tahun 1921, Ahmad Hassan berangkat ke
Surabaya, mengelola toko milik paman yang sekaligus gurunya, Abdul Lathif.
Sebelum berangkat, Abdul Lathif berpesan pada sang keponakan, jangan bergaul
dengan Faqih Hasyim yang dianggap sesat karena berfaham Wahabi. Rupanya di
Surabaya waktu itu sedang terjadi konflik antara kaum muda yang dipelopori oleh
Faqih Hasyim, seorang padagang yang sekaligus pendakwah. Faqih Hasyim, yang
berasal dari Padang itu, mengunakan rujukan dari buku-buku yang dikarang oleh
Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Zainuddin Labay, ketiganya asal
Sumatra.
Ahmad Hassan datang ke Surabaya,
awalnya, semata-mata hanya sebagai pedagang. Ia tinggal dirumah pamannya yang
bernama Abdullah Hakim. suatu hari, sang paman meminta agar Ahmad Hassan
menemui K.H. A Wahab Hasbullah. Belakangan, Kiai Wahab menjadi terkenal karena
ia adalah salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama’ pada tahun 1926. Namun pada
akhirnya Ahmad Hassan berkesimpulan bahwa kaum muda yang ada di Surabaya berada
di jalan yang benar. Kesimpulan itu ia dapat setelah berbincang-bincang dengan
Kiai Wahab. Maka ia pun bersahabat dengan Faqih Hasyim yang mewakili golongan
muda[10].
Pada perkembangan selanjutnya,
karena Ahmad Hassan tertarik pada ilmu menenun, pada tahun 1924 Ahmad Hassan
pergi ke Bandung. Tujuannya hanya satu, memperdalam ilmu pertenunan selama 9
bulan. Ia tinggal bersama keluarga Yunus, seorang pendiri Persis. Usai sekolah
tenun, Ahmad Hassan sempat dipercaya mengelola pabrik tenun selama satu tahun.
Tapi karena kesulitan bahan dasar atau bahan baku, pabrik tersebut akhirnya
ditutup pada tahun 1926. Selama di Bandung inilah Ahmad Hassan sering ikut
aktifitas di Persis, dan secara resmi manjadi anggota pada tahun 1926. Hassan
masuk Persis ketika Ormas Islam ini berusia 3 tahun. Dan rupanya, beliau segera
popular dikalangan kaum muda yang progresif. Tahun-tahun berikutnya, Ahmad
Hassan identik dengan Persis, begitu pula Persis, identik dengan Ahmad Hassan.
C. Pemikiran
Ahmad Hassan
Pemikiran Ahmad Hassan sebenarnya
banyak sekali terutama tentang islam. Hal ini dibuktikan dengan banyak karya
tulisnya yang mencapai lebih dari 80 buku versi. akan tetapi dalam makalah ini,
penulis hanya akan membahas tiga pemikiran Ahmad Hassan terkait dengan islam
yaitu tentang Tuhan dan Sifat-sifat-Nya, Tuhan pemberi hukum, kenabian,
al-Qur’an dan Hadis.
1.
Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
Berbicara Tuhan tidak bisa
dilepaskan dari sifat-sifat-Nya karena manusia hanya akan mengenal Tuhan lewat
sifat-sifat-Nya. Pemahaman yang tepat mengenai sifat Allah begitu penting bagi
semua umat Islam, sehingga mereka bisa mencapai hubungan yang benar dengan
Allah. Sementara itu, pemahaman yang tidak tepat, menyebabkan manusia menyalahi
dan melanggar perintah-perintah Allah. Misalnya, menyembah orang yang dikagumi
sebagaimana yang dilakukan oleh orang kristen, perilaku pemberian sesajen yang
biasanya dilakukan oleh orang Jawa dan lain sebagainya. Menurut Ahmad Hassan
itu semua merupakan tindakan yang mengabaikan kekuasaan Allah dan bertentangan
dengan perintah Allah. Beliau menyimpulkan bahwa untuk keselamatan spiritual
dan pahala abadi mereka sendiri, maka umat Islam harus belajar dan
berusaha untuk memahami sifat Allah[11].
Sifat Allah sama halnya sifat
manusia. Allah bisa mencipta, begitu juga manusia bisa menciptakan sesuatu.
Allah bisa melihat, merasakan, mendengar dan lain sebagainya, manusia juga
memiliki sifat-sifat tersebut. Hanya saja yang membedakan manusia dengan Allah
terletak pada ketidakterbatasan Allah dalam segala sifat-sifat-Nya, sedangkan
manusia mempunyai keterbatasan dalam segala sifatnya. Contoh, Allah maha
mengadakan sesuatu dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan bisa membuat
sesuatu dari sesuatu lainnya, sedangkan manusia tidak mungkin bisa membuat
sesuatu jika bahan-bahannya tidak ada[12].
Mengenai kehendak manusia yang
menurut berbagai aliran mengatakan bahwa manusia independen dan penciptaannya
sudah dianggap selesai. Terkait nasibnya di dunia itu semua tergantung pada
manusia itu sendiri dan Tuhan telah membiarkan manusia sesuai kehendaknya.
Pendapat ini bagi Hassan bertentangan dengan kuasa Tuhan. Sedangkan orang yang
berpendapat sebaliknya, bahwa hidup ini sudah digariskan oleh Tuhan dan manusia
tidak berdaya atau pasif atas segala nasibnya juga ditentang oleh Hassan karena
manusia juga dilengkapi potensi untuk mengembangkan dirinya[13].
Dari itu penulis berkesimpulan bahwa pemikiran Ahmad Hassan terkait dengan
Tuhan dan sifat-Nya dan kaitannya dengan manusia mempunyai hubungan yang tidak
bisa dilepaskan. Misal, takdir kemiskinan manusia, itu ditentukan faktor usaha
manusia yang kemudian divonis oleh takdir Tuhan. Tuhan menyeru
manusia berusaha terlebih sebelum takluk pada takdir tuhan.
2.
Tuhan
Pemberi Hukum
Ahmad Hassan berkeyakinan bahwa,
sebagai pengatur dan pemelihara alam semesta, Tuhan telah menetapkan
aturan-aturan dan pola-pola standar yang dikenal manusia sebagai hukum. Hukum
agama (syari'at) megatur hubungan manusia dengan Tuhan agar manusia menjadi bertakwa.
Hukum buatan manusia, membentuk hubungan dan keterkaitan manusia dengan sesama
manusia lainya, serta mengatur perkembangan dan status masyarakat[14].
Hukum agama, merupakan hukum yang
paling penting. Tujuan dari hukum agama adalah menguraikan perintah dan
kehendak Tuhan agar manusia dapat melaksanakannya, karena tanpa hukum agama,
tidak akan ada cara yang nyata untuk mengetahui apa yang Allah perintahkan.
Karena alasan itulah Allah memberi manusia hukum agama dalam bentuk al-Qur’an
dan Hadits sebagai petunjuk dan tuntunan.
Ahmad Hassan menjelaskan bahwa
selain diatur oleh hukum agama, manusia juga diatur oleh hukum alam, yang
dibagi oleh beliau menjadi dua bagian, yaitu hukum yang bisa diterima oleh
nalar, dan hukum yang diterima oleh adat kebisaaan. Contoh hukum yang diterima
oleh nalar adalah, mustahil bila "seorang ayah pasti lebih muda dari
anaknya", dan sebaliknya adalah mustahil bila "seorang anak lebih tua
dari ayahnya". Adat merupakan suatu yang mirip dengan hal-hal yang diserap
nalar, dan ia diperoleh umat manusia. Harapan Hassan, setelah manusia
mengetahui macam-macam hukum, diharapkan manusia mampu membedakan mana hukum
yang bisa dirubah dan mana hukum yang tidak bisa dirubah. Sehingga Ahmad Hassan
berkesimpulan bahwa hukum itu tidak lain harus dipatuhi. Dan pada umumnya,
manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikanya[15].
3.
Kenabian
Nabi Muhammad merupakan Rasul Allah
yang diutus untuk membimbing umat manusia baik membimbing dalam segi keduniaan
atapun keakheratan. Muhammad merupakan nabi yang diutus oleh Tuhan sebagai nabi
pamungkas yang tidak akan ada lagi nabi dan rasul setelahnya. Pernyataan Ahmad
Hassan ini menerangkan bahwa pendapat Aliran Ahmadiyah yang mengatakan Mirza
Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir aliran tersebut.
Lebih lanjut Hassan menjelaskan
bahwa untuk menjadi nabi tidak bisa dipelajari dengan ilmu atau sihir yang bisa
menjadikan seseorang nabi. Akan tetapi seseorang yang bisa menjadi nabi itu
merupakan kehendak tuhan yang tidak bisa ditiru oleh manusia. Sudah banyak
orang yang mengaku nabi tetapi pada dasarnya ia bukan nabi, bahkan ia
dimasukkan kepada orang yang tidak tahu diri dan tidak mau menempatkan dirinya
pada takdir tuhan.
Sebagai manusia pilihan, Muhammad
terlepas dari kesalahan akhirat tetapi dalam segi keduniaan, Beliau masih
pernah melakukan kesalahan. Akan tetapi kesalahan yang dilakukan nabi langsung
mendapat teguran dari Tuhan dan merubah kesalahan tersebut menjadi sebuah
tindakan yang benar. Bentuk perlakukan Allah kepada nabi Muhammad itu merupakan
bentuk perlakuan istimewa karena Muhammad diplot untuk menjadi pembimbing umat
yang harus terbebas dari kesalahan.
4.
Al-Qur’an
dan Hadis
Al-Qur’an dan Hadis sangatlah
penting bagi Ahmad Hassan dan Persatuan Islam, karena sudut pandang
muslim fundamentalis menekankan bahwa sumber-sumber ini menyajikan Islam dalam
bentuknya yang murni dan dalam bentuk itu dapat diadaptasikan dengan
kondisi-kondisi dan konsep-konsep yang berlaku di dunia modern. Ahmad Hassan
menuduh ulama tradisionalis telah melupakan dua sumber ini, dan secara salah
menekankan penafsiran-penafsiran para Juris dan teolog Islam[16].
Menurut pengamatan Ahmad Hassan,
para ulama hadis membagi hadis menjadi dua bagian, yakni yang boleh
dipakai dan yang tidak. Hadis yang boleh dipakai, dibagi menjdi dua bagian,
yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir ialah
hadits yang didengar dari Nabi oleh banyak orang, lalu disampaikan kepada orang
banyak, sampai tercatat di kitab hadis. Sedangkan hadits Ahad ialah
hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh orang-orang yang tidak sebanyak hadits Mutawatir[17].
Menurut Ahmad Hassan, hadits yang
tidak boleh dipakai dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang lemah riwayatnya dan
yang palsu riwayatnya. Kedua macam hadis ini tidak boleh dipakai untuk
menetapkan hukum halal, haram, sunnat atau makruh. Ia hanya boleh dipakai untuk
membantu keterangan saja, bukan jadi pokok pedoman[18].
D. Pemikiran
Pendidikan Ahmad Hassan
Menesuri jejak-jejak pemikiran
hasan tentang pendidikan ini memang cukup sulit. Sulit karena Hassan secara
eksplisit tidak pernah menerbitkan tulisan tentang pendidikan. Bagi Hassan,
tujuan pendidikan adalah terbentuknya akhlak yang terpuji peserta didik yang
sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis[19].
Alasan Hassan membuat tujuan seperti adalah karena Muhammad diutus
ke muka bumi ini hanya untuk menyempurnakan ahklak. Dengan demikian pendidikan
harus mampu melahirkan siswa yang mempunyai akhlak yang baik. Adapun sumber
pendidikan harus bersumber pada al-Qu’an dan hadis.
Selain tujuan diatas, Ahmad Hassan
juga mempunyai keinginan terkait pendidikan yaitu menginginkan lembaga
pendidikan mampu melahirkan mubalig-mubalig yang mempunyai kemampuan bahasa
arab, ilmu agama islam, ilmu hitung, geografi dan ilmu keduniaan sebagai bekal
siswa-siswa dalam melakukan dakwah sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Hadis[20].
Terkait tugas dan fungsi seorang
guru, Ahmad Hassan berpendapat bahwa guru harus mendidikan siswa dengan hanya
beribadah kepada Allah dan tidak boleh mengharapkan sesuatu yang bersifat
duniawi. Selain itu, guru juga harus mempunyai keilmuan yang bagus dan telah
mengamalkan apa-apa yang akan diajarkan kepada siswa. Adapun
persyaratan untuk menjadi peserta didik menurut Hassan adalah harus beribadah
hanya kepada Allah, melakukan amar ma’ruf nahy munkar, mempertahankan syiar
islam, memiliki akhlak mulia, dan menjaga kerapihan dan kebersihan[21].
Hassan memandang siswa-siswanya
bukan manusia yang tidak tahu apa-apa tetapi sebagai teman berbicara yang
sebenarnya sudah mempunyai pengetahuan meskipun masih belum tampak jelas. Dalam
menyampaikan materi, Hassan menggunakan beberapa metode mulai dari ceramah,
diskusi, Tanya jawab dan debat. Sedangkan dalam evaluasinya, Hassan menggunakan
dua jenis evaluasi yaitu lisan dan tulisan seperti hafalan dan tes tulis bahasa
arab. Evaluasi itu dilaksanakan setiap akhir pelajaran, tengah semester dan
akhir semester[22].
Sebagai bukti keseriusan Hassan
dalam pendidikan, beliau mendirikan Pesantren Persatuan islam
Bandung dan Pesantren Persatuan Islam di Bangil Pasuruan pada maret 1940[23].
[1] Persis
lahir dari sebuah ide alumnus Darul Ulum Mekkah yaitu H. Zamzam dan temannya
yang bernama H. Muhammad Yunus. Ide-ide tentang pengembalian ajaran islam
kepada ajaran yang murni yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dari berbagai diskusi yang
mereka lakukan kemudian terbesit untuk mendirikan sebuah organisasi yang
kemudian disebut Persatuan Islam (Persis). Persis lahir pada tanggal 12
September 1923 di Bandung. Lihat Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan
Persis 1923-1983, (Bandung: Gema Syahid, 1995), 30-31.
[5] D.
Wildan, Dai yang Politikus: Hikayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, (Bandung:
Rosda Karya, 1997), 9.
[6] Muh.
Rifa’I, “Pemikiran Politik Islam Menurut Ahmad Hassan Dalam Perspektif Politik
Islam Indonesia”, (Skripsi --IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009), 47.
[7] Ah.
Zakki Fuad, Negara Islam atau Negara Nasional: Pemikiran Fundementalis
vs Liberalis, (Kediri: Jenggala Pustaka Utama, 2007), 146.
[9] Herry
Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad-20, (Bandung:
Gema Insani, 2006), 15.
[11] Howard
M. Federspiel, Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State; The
Persatuan Islam (PERSIS) 1923-1957, (Boston: Brill, 2001),
122-123.
[20] Sheiha
Sajieda, “Analisis pemikiran Ahmad Hassan tentang Pendidikan Islam dan
Implementasinya di lembaga Persatuan Islam” ( Skripsi—UPI, Bandung, 2013), 217.
[23] Toto
Suharto, Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik; Pengalaman Pesantren
Persatuan Islam, (Surakarta: Fataba Press, 2013), 157.
makasih infonya menambah wawasan
BalasHapusElever Media Indonesia
wah keren kak sangat bermanfaat sukses ya kak
BalasHapussalam chris febriyana zamri https://www.atmaluhur.ac.id