A. Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara berkembang yang hingga saat ini masih terus melakukan ikhtiar
untuk mencapai titik kejayaannya. Dalam rangka menjemput kejayaan tersebut,
Indonesia sama halnya dengan negara maju yang mengawali pembangunan dengan
pendidikan. Tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan Indonesia juga diawali
dengan pendidikan, hal ini terbukti dengan beberapa produk hukum pembangunan
yang mencanangkan minimal 20% APBN Indonesia dialokasikan untuk pendidikan,
meskipun masih banyak sunnatan terhadap anggraran pendidikan
tersebut. Perjalanan pendidikan Indonesia terus berkelid-kelindang dengan
kekurangan anggaran sehingga dunia pendidikan Indonesia cenderung berjalan
ditempat bahkan mengalami kemunduran dari berbagai aspeknya.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah terus melakukan perombakan
manajemen pendidikan. Mulai dari perombakan kurikulum yang terjadi hampir di
setiap kepemimpinan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga perombakan
manajemen yang sentralistik menjadi desentralistik yang berujung pada
otonomisasi pendidikan.
Manajemen
pendidikan yang sentralistik dikecam oleh berbagai kalangan terutama para pakar
pendidikan karena cenderung meniadakan potensi daerah yang sebenarnya merupakan
potensi yang wajib digarap oleh pemerintah. Menanggapi kecaman tersebut,
orientasi pemerintahan yang tersentral pada kebijakan pemerintah pusat akhirnya
tumbang dan digantikan dengan desentralisasi pemerintahan. Penerapan
desentralisasi tersebut diharapkan pemerintah daerah baik propinsi maupun
kota/kabupaten bisa menjadi daerah yang otonom dan mandiri. Akibat penerapan
kebijakan desentralisasi itu, tentu berpengaruh besar terhadap manajemen
pendidikan yang juga wajib mengikuti sistem desentralisasi tatanan
pemerintahan.
Para
pengkritik manajemen sentralistik, tampaknya mulai mendapat angin segar
kemajuan karena dunia pendidikan secara otomatis menjadi pendidikan yang
berpola lokal dengan bentuknya yang otonom.
Dengan
kebijakan itu, pemerintah daerah berikut dengan masyarakat diakar rumput bisa
leluasa mengurus pendidikan sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki. Isu-isu
pendidikan yang mencabut peserta didik dari akar budayanya, kini tak lagi
menjadi kekhawatiran karena pendidikan Indonesia akan dikembangkan seseuai
dengan budaya daerah lewat kebijakan otonomi pendidikan.
Kebijakan yang
muncul dari kebijakan lama atau biasa disebut pembaruan kebijakan bukan tidak
menimbulkan masalah. Kebijakan progresif sekalipun pada awal penerapannya
hampir bisa dipastikan akan menemui banyak kendala termasuk kebijakan tentang
otonomi pendidikan.
Otonomi
pendidikan bertujuan agar pengelolaan pendidikan lebih efektif dan efisien
dengan lokalitas budaya di masing-masing daerah. Akan tetapi berbagai aral
melintang tak dapat dihindari sehingga kebijakan yang cukup visioner tersebut
menemui banyak masalah dalam pelaksanaannya. Ketidaksiapan penyelenggara
pendidikan di daerah berikut pemerintahannya selalu menjadi alasannya kurang
maksimalnya pelaksanaan kebijakan tersebut. Bahkan ada kabar, terdapat lembaga
pendidikan yang keterlaluan dalam menyambut otonomi pendidikan dengan
menerapkan kurikulum yang sama sekali tidak mengacu pada kurikulum pendidikan
nasional. Lembaga pendidikan itu telah menabrak dasar filosofis pendidikan
nasional yang kebardaannya akan membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Atas dasar
itulah, makalah ini hadir untuk mengurai benang kusut kebijakan otonomi
pendidiakn. Ditengah hingar-bingar masyarakat dalam menyambut pelaksanaan
kebijakan itu, tentu penulis merasa kesulitan untuk mengungkap permasalahan
otonomi pendidikan tersebut, karena mayoritas masyarakat merasa bahwa kebijkan
itu jauh lebih baik dari kebijakan sebelumnya sehingga seakan-akan tidak ada
masalah yang menyertai kebijakan itu karena ditutupi oleh antusias dan
kesenangan masyarakat. Namun, penulis terus berusaha untuk mengungkap
permasalahan tersebut lewat makalah ini.
B. Konsep
Otonomi Pendidikan
Era reformasi
yang terjadi pada tahun 1998 membawa dampak siginfikan terhadap pelaksanaan
sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Sistem sentralisasi yang diterapkan
pada orde baru bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi. Pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia bermula sejak dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah
otonomi yang mengisyaratkan kepada masyarakat mengenai kewenangan daerah untuk
mengatur daerahnya sendiri.
Secara bahasa
otonomi berasal dari Yunani autos berarti sendiri, dan nomos yang
berarti hukum atau aturan[1]. Secara istilah, otonomi adalah pemberian wewenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri[2]. Dengan demikian otonomi adalah kewenangan yang dimiliki
suatu daerah untuk mengatur dan mengelolah daerahnya secara mandiri. Sedangkan
otonomi pendidikan adalah kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga
pendidikan untuk mengatur dan mengelola lembaganya secara mandiri.
Otonomi pendidikan menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap
pada Bab IV bagian ketiga tentang Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8
disebutkan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan, Pasal 9 menyatakan
bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi
setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun[3].
Menurut
Hamijoyo, pelaksanaan otonomi pendidikan merupakan suatu keharusan dengan
alasan-alasan berikut: (1) wilayah Indonesia yang secara geografis sangat luas
dan beraneka ragam, (2) aneka ragam golongan dan lingkungan sosial, budaya,
agama, ras dan etnik serta bahasa, disebabkan antara lain oleh perbedaan
sejarah perkembangan penduduk dengan segala aspek kehidupannya, (3) besarnya
jumlah dan banyaknya jenis populasi pendidikan yang tumbuh sesuai dengan
perkembangan ekonomi, iptek, perdagangan, dan sosial budaya, (4) perbedaan
lingkungan suasana yang mungkin saja menimbulkan asspirasi dan gaya hidup yang
berbeda antara wilayah satu dan lainnya, dan (5) perkembangan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya yang cepat dan dinamis menuntut penanganan segala persoalan
secara cepat dan dinamis pula.[4]
Menurut H.A.R.
Tilar, Otonomi pendidikan mempunyai dua arti yaitu: Pertama, menata kembali
sistem pendidikan nasional yang sentralistis menuju kepada suatu sistem yang
memberikan kesempatan luas kepada inisiatif masyarakat. Kedua, memperkuat
dasar-dasar pendidikan pada tingkat bawah untuk membentuk suatu masyarakat yang
bersatu berdasarkan kebhinnekaan[5]. Dari pendapat Tilar tersebut, penulis dapat simpulkan
bahwa otonomi pendidikan merupakan upaya penataan pendidikan dari sentralistik
menjadi desentralistik agar masyarakat Indonesia bisa berkembang dan bersatu
dalam kebhinnekaannya. Keragamaan kultur yang dimiliki oleh Indonesia tidak
dijadikan sebagai argumen untuk memecah belah bangsa tetapi dijadikan sebagai
penguat bangsa dengan kekayaan budaya yang beranikaragam.
C. Otonomi
Pendidikan dan Kastanisasi Pendidikan
Otonomi daerah
berimplikasi kepada semua sektor termasuk pendidikan. Dengan kebijakan itu, mau
tidak mau, pendidikan juga wajib dimanajemen berbasis lokal atau sering disebut
otonomi pendidikan. Efek dari penerapan pelaksanaan otonomi pendidikan salah
satunya adalah terjadinya kastanisasi pendidikan. Selain itu masalah yang
menjadi pengganjal atas pelaksanaan otonomi pendidikan itu adalah manajemen
kurikulum yang diatur tidak sesuai dengan ruh otonomi pendidikan, Sumber daya
manusia penyelenggara pendidikan yang masih belum siap serta kesalahan dalam
menangkap esensi kebijakan otonomi pendidikan menjadi masalah yang cukup
krusial dalam melaksanakan otonomi pendidikan.
Kebijakan
otonomi pendidikan sekilas merupakan kebijakan yang sangat demokratis. Tetapi,
efek kebijakan tersebut dapat memacu kastanisasi pendidikan yang memisahkan
antara sekolah orang kaya dan miskin. Kebebasan untuk mengembangkan pendidikan
berikut cara mengelola pendanaan untuk kemajuan lembaga pendidikan telah
menyuburkan sekolah unggul dan tidak unggul. Bahkan undang-undang telah
mengamanatkan bahwa setiap daerah wajib memiliki setidak-tidaknya satu sekolah
uanggulan.
Pemerintah
memang telah menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
yang layak bahkan bagi orang miskinpun berhak mendapat pendidikan di sekolah
unggulan. Tetapi, semua itu hanya berakhir sebatas wajana, nyatanya, orang
miskin tidak bisa mendaftar di sekolah-sekolah uanggulan. Sekolah uanggulan
hanya diperuntukkan bagi kaum elit yang ekonomi mapan.
Kastanisasi
pendidikan semakin tak terbendung dan menggumpal saat ditetapkannya kebijakan
yang termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003 Pasal 53 tentang Badan
Hukum Pendidikan yang menyebutkan: 1). Penyelenggara dan atau satuan pendidikan
formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan; 2). Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.; 3). Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan; 4). Ketentuan
tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri[6].
Amanat
undang-undang diatas adalah keharusahan lembaga pendidikan dalam hal ini
sekolah mampu memberdayakan dirinya sendiri dengan keleluasaannya dalam
mengelolah pendidikan. Kemandirian dalam menyelenggarakan pendidikan merupakan
kondisi ideal yang ingin dicapai dengan diterapkannya undang-undang badan hukum
pendidikan (BHP), dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah bagi sekolah
dasar dan menengan dan menerapkan otonomi pendidikan bagi perguruan tinggi[7].
Badan hukum
pendidikan merupakan kebijakan yang kontroversial sehingga menimbulkan protes
dari banyak kalangan. Akhirnya, pada tanggal 31 maret 2010, Mahkamah Konstitusi
membatalkan undang-undang tersebut karena dinilai tidak sesuai dengan Pancasila
dan Undang-Undang 1945. Pertanyaannya adalah, apakah pasca dibatalkannya
undang-undang BHP sekolah unggulan yang hanya dikhususkan kepada orang-orang
kaya sudah tidak ada? Kenyataannya sampai saat ini sekolah unggulan yang cukup
diskrimanatif itu terus menjamur karena masih berpayung pada undang-undang
otonomi pendidikan.
Regulasi
pendidikan yang otonom telah mengamanatkan pemerintah kepada masyarakat untuk
menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Amanat itu telah banyak
dilaksanakan oleh masyarakat dengan mendirikan lembaga pendidikan yang bonafit
dengan fasilitas yang serba canggih dan modern.
Atas dasar
pengembangan pendidikan yang maju dan modern, para pengembang pendidikan
tersebut telah menerapkan kebijakan semena-mena terkait pembiayaan pendidikan.
Sekolah akan menarik sumbangan setinggi-tinggi kepada siswa guna mencapai
sekolah yang bernuansa modern dan bermutu. Akibatnya, akses orang yang
ekonominya menengah kebawah merasa terpasung dan hak memperoleh pendidikan yang
bermutu dan modern hanya dikhususkan bagi mereka yang kaya. Dengan demikian,
masyarakat akan semakin terkotak-kotakkan berdasarkan status sosial dan
ekonomi. Orang kaya boleh masuk pendidikan yang bermutu tinggi dengan fasilitas
maha sempurna sedangkan yang miskin harus mengenyam pendidikan yang jauh dari
standar mutu pendidikan dengan fasilitas yang penuh keterbatasan.
Itulah
kebijakan otonomi pendidikan yang dirasa sangat kurang bijak. Pemerintah
mencoba lari dari tanggung jawabnya untuk memanusiakan manusia sebagaimana
diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena betul apa yang
dikatan Fandi Achmad dalam opininya di Jawa Pos Tahun 2007 silam, ia mengatakan
bahwa otonomi pendidikan semacam ini adalah sumber utama yang membuat
pendidikan nasional ini semakin terpuruk dan carut marut[8].
D. Otonomi
Pendidikan dan Ancaman Disintegrasi Bangsa
Bergulirnya
era otonomi daerah yang bermula sejak dikeluarkannya Undang-undang nomor 22
tahun 1999 telah melahirkan berbagai tafsir dari berbagai penguasa di daerah.
Otonomi daerah dianggap sebagai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengolah
daerahnya tanpa ada campur tangan pemerintah pusat. Meski berbagai aturan telah
mengatur pelaksanaan pemerintah daerah yang mengharuskan pengembangannya
mengaju pada Undang-Undang Dasar 1945, namun banyak daerah yang tidak mematuhi
prosedur tersebut. Banyak daerah yang telah mengembangkan daerah secara egoisme
dan penuh semangat seperatisme. Tak ayal, banyak daerah yang mengajukan diri
ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut
Djohermansyah Djohan, Pelaksanaan otonomi daerah sama dengan mengizinkan
berdirinya ratusan negara mini[9]. Pemerintah daerah akan membentuk daerahnya sesuai
dengan kondisi daerahnya masing-masing. Isu tentang etnosentrisme kembali
mengental dengan adanya kebijakan otonomi daerah dan mulai mencuat pada tahun
2000. Timor Timur merupakan salah satu-satunya daerah yang berhasil lepas
dengan dibukanya referandum Timor Timur, sementara Aceh dan Papua masih bisa
dikendalikan karena pemerintah memberikan otonomi khusus pada kedua daerah
tersebut[10].
Pendidikan
sebagai institusi yang harus mengikuti sistem otonomi daerah juga ditengarai
akan mengembangkan lembaganya sesuai dengan kehendaknya yang pada akhirnya akan
menguatkan isu-isu lokal dan golongan. Pemberian otonomi pendidikan telah
banyak dimanfaatkan oleh berbagai kelompok aliran untuk menyebarluaskan paham
kebencian terhadap negara yang menganut sistem demokrasi.
Berbagai
aliran yang secara terang-terangan ingin menegakkan negara berasaskan islam
telah melakukan berbagai terobosan diantaranya adalah mendirikan lembaga
pendidikan dengan tujuan menguatkan dan menyebarkan pemahamannya. Pengembangan
pendidikan yang seperti itu merupakan hak sekolah karena sudah mendapat legitimasi
hukum lewat perundangan otonomi pendidikan.
E. Simpulan
Otonomi
pendidikan diawali dengan perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari
sentralistik menjadi desentralistik. Era reformasi menjadi pintu bagi otonomi
daerah dan pendidikan. Otonomi pendidikan adalah kewenangan satuan pendidikan
untuk mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikannya secara mandiri.
Otonomi
pendidikan mengamanatkan kepada setiap lembaga pendidikan untuk mengatur
dirinya secara mandiri. Otonomi pendidikan dalam pendidikan dasar dan menengah
diterjemahkan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan otonomi bagi perguruan
tinggi. Amanat otonomi pendidikan dimanfaatkan sekolah untuk menarik sumbangan
pendidikan kepada siswa setinggi-tingginya demi tercapainya pendidikan yang
bermutu tinggi. Muncullah sekolah unggulan dengan tarif yang tidak bisa
dijangkau oleh masyarakat yang tingkat ekonominya rendah.
Sekolah
unggulan memang diperuntukkan kepada kalangan elit sedangkan masyarakat yang
ekonominya sulit harus mengenyam pendidikan ala kadarnya yang mutu
pendidikannya jauh dari standar nasional. Otonomi pendidikan telah menyuburkan
kastanisasi pendidikan. Masyarakat semakin terkotak-kotakkan beradasarkan kelas
sosial dan ekonominya.
Selain itu,
otonomi pendidikan yang kurang terkotrol secara maksimal hanya akan melahirkan
ketegangan sosial yang diakibatkan oleh ego etnosentrisme. Dari ego etnis itu
pada akhirnya akan memicu disintegrasi bangsa Indonesia.
F. Daftar
Pustaka
Abdurrahman. Beberapa
Pemikiran Tentang Otonomi Daerah. Jakarta: Media Sarana Press, 1987.
Achmad,
Fandi. Korban Otonomi Pendidikan. Jawa Pos, 02 Juni 2007.
Haris,
Syamsuddin (Ed). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI
Press. 2007.
Hasbullah Otonomi
Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Irianto, Yoyon
Bahtiar. Kebijakan Pembaruan Pendidikan: Konsep, Teori dan Model. Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
Rivai, H.
Veithzal dan Sylviana Murni. Education Management; Analisis teori dan
Praktik. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Rohiat, Manajemen
Sekolah: Teori Dasar dan Praktik. Bandung: Refika Aditama, 2010.
Sufyarma M. Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Cet. ke-2. Bandung: Alfabeta CV, 2004.
Tilar, H.A.R. Membenahi
Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2002.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[6] H. Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, Education
Management; Analisis teori dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 33.
blognya sangat bagus kak
BalasHapusElever Media Indonesia